ABU ASWAD ADDUWALY

Islam memiliki banyak tokoh-tokoh terkemuka di dunia. Ribuan bahkan jutaan karya telah mereka telurkan. Hasil pemikiran mereka telah banyak mempengaruhi dunia ilmu pengetahuan. Banyak negara non muslim belajar pengetahuan pada mereka. Sehingga islam mencapai puncak keemasan dalam bidang ilmu pegetahuan pada massa dinasti Abbasiyyah, yaitu pada massa khalifah Al Ma’mun. Dunia islam dipenuhi dengan banyak penemuan hasil dari penelitian ilmuwan-ilmuwan muslim, yang mana hasil penemuan tersebut mengubah wajah islam baik dari segi peradaban maupun kebudayaan. Banyak bidang yang digali dan diteliti oleh ilmuwan-ilmuwan muslim, yang menjadikan islam memiliki banyak khasanah keilmuwan dan menjadi sentral dan pusat pengetahuan pada waktu itu.
Salah satu bidang yang melahirkan tokoh terkemuka islam adalah bidang sastra arab. Bahasa arab menjadi bahasa dunia, meskipun kedudukannya saat ini kalah dengan bahasa inggris. Bahasa arab memiliki karakteristik dan keistimewaan yang tak dimiliki oleh bahasa lain. Diantaranya yaitu bentuk-bentuk dalam bahasa arab mempunyai tasrif atau kunjugasi yang amat luas, yang mana mencapai 3000 bentuk perubahan dan tak dimiliki oleh bahasa lain.
Adapun tokoh-tokoh dalam bidang sastra arab (dalam hal ini adalah ilmu nahwu) yang terkemuka adalah Abu Aswad Adduwaly, Sibawaihi, Ibnu Malik, Ibnu Abi Ishaq, Isa bin Umar Ats-Tsaqafiy, Abu Amr bin Al-'Ala', Yunus bin Hubaib, Syeikh Musthafa Alghalayiny dll. Mereka semua adalah para ahli dibidang nahwu. Adapun karya-karya mereka telah menjadi referensi pelajar muslim yang belajar ilmu nahwu.
q  Profile
Abu Aswad Adduwwaly adalah tholim bin umar bin sofyan bin jundal bin ya’mar bin khalas bin nufatsah bin ‘adi bin ad dalil bin bakri ad daily. Ia dilahirhan di kota Kufah pada tahun 16 H / 603 M. Ia tunbuh besar di kota Basrah. Ada banyak perbedaan diantara ulama’ mengenai penyebutan ad duwaly. Ada yang berpendapat bahwa adduwaly adalah nama sebuah kabilah / suku dari bani kananah. Ada juga yang berpendapat bahwa gelar tersebut adalah nama seekor hewan ternak.
Abu aswad adduwaly, dilahirkan sebelum hijrahnya Nabi Muhammad SAW ke kota Mekah. Menurut sejarah ia masuk islam setelah kebebasan kota Mekah. Ia membaur dengan kabilah kabilah arab. Kemudian ia pindah dari kota Mekah dan Madinah setelah wafatnya Nabi ke kota Basrah
Di kota basrah, abu aswad adduwaly tiba di suku qusair. Ia disana mendapat perlakan yang memprihatinkan. Orang-orang suku qusair merajamnya dengan sangat kejam. Sehingga terdapat banyak luka goresan di tubuhnya.
Abu aswad adduwaly wafat pada tahun 69 H / 688 M. ia dikenal sebagai peletak dasar ilmu nahwu yang pertama. Meskipun terdapat eprbedaan mengenai siapa peletak dasar ilmu nahwu yang pertama. Adapun murid murid yang menimpa ilmu dari dia diantaranya adalah Nasir bin ‘Ashim Allaitsy, Rami Al-asady, yahya bin Ya’mar Al-‘adwy dll.
q  Perkembangan ilmu nahwu
CIKAL BAKAL ILMU NAHWU
Hampir semua pakar linguistik Arab bersepakat bahwa gagasan awal
yang kemudian berkembang menjadi Ilmu Nahwu muncul dari Ali bin Abi Thalib saat beliau menjadi khalifah. Gagasan ini muncul karena didorong oleh beberapa faktor, antara lain faktor agama dan faktor social budaya (Dlaif, 1968:11; Al-Fadlali, 1986:5). Yang dimaksud faktor agama di sini terutama adalah usaha pemurnian Al-Qur'an dari lahn (salah baca). Sebetulnya, fenomena lahn itu sudah muncul pada masa Nabi Muhammad masih hidup, tetapi frekuensinya masih jarang. Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa ada seorang yang berkata salah (dari segi bahasa) dihadapan Nabi, maka beliau berkata kepada para sahabat: "Arsyidu: akha:kumfa innahu qad dlalla" (Bimbinglah teman kalian, sesungguhnya ia telah tersesat). Perkataan dlalla 'tersesat' pada hadits tersebut merupakan peringatan yang cukup keras dari Nabi. Kata itu lebih keras artinya dari akhtha'a 'berbuat salah' atau zalla 'keseleo lidah'. Dalam riwayat lain dikatakan bahwa salah seorang gubernur pada pemerintahan Umar bin Khattab menulis surat kepadanya dan di dalamnya terdapat lahn, maka Umar membalasnya dengan diberi kata-kata "qanni' kita:bak sawthan" 'berhatihatilah dalam menulis' (Abul Fath, tanpa tahun). Lahn itu semakin lama semakin sering terjadi, terutama ketika bahasa Arab telah mulai menyebar ke negara-negara atau bangsa-bangsa lain non-Arab. Pada saat itulah mulai terjadi akulturasi dan proses saling mempengaruhi antara bahasa Arab dan bahasa-bahasa lain. Para penutur bahasa Arab dari non-Arab sering kali berbuat lahn dalam berbahasa Arab, sehingga hal itu dikhawatirkan akan terjadi juga pada waktu mereka membaca Al-Qur'an.
Dari sisi sosial budaya, bangsa Arab dikenal mempunyai kebanggaan dan fanatisme yang tinggi terhadap bahasa yang mereka miliki. Hal ini mendorong mereka berusaha keras untuk memurnikan bahasa Arab dari pengaruh asing. Kesadaran itu semakin lama semakin mengkristal, sehingga tahap demi tahap mereka mulai memikirkan langkah-langkah pembakuan bahasa dalam bentuk kaidah-kaidah. Selanjutnya, dengan prakarsa Khalifah Ali dan dukungan para tokoh yang mempunyai komitmen terhadap bahasa Arab dan Al-Qur'an, sedikit demi sedikit disusun kerangka-kerangka teoritis yang kelak kemudian menjadi cikal bakal pertumbuhan Ilmu Nahwu. Sebagaimana terjadi pada ilmu-ilmu lain, Ilmu Nahwu tidak begitu saja muncul dan langsung sempurna dalam waktu singkat, melainkan berkembang tahap demi tahap dalam kurun waktu yang cukup panjang.
PELETAK DASAR ILMU NAHWU
Mengenai tokoh yang dapat disebut sebagai peletak batu pertama Ilmu Nahwu, ada perbedaan dikalangan para ahli. Sebagian ahli mengatakan, peletak dasar Ilmu Nahwu adalah Abul Aswad Ad-Du'ali. Sebagian yang lain mengatakan, Nashr bin 'Ashim. Ada juga yang mengatakan, Abdurrahman bin Hurmus (Dlaif, 1998:13). Namun, dari perbedaan-perbedaan itu pendapat yang paling populer dan diakui oleh mayoritas ahli sejarah adalah Abul Aswad. Pendukung pendapat ini dari golongan ahli sejarah terdahulu antara lain Ibnu Qutaibah (wafat 272 H), Al-Mubarrad (wafat 285 H), As-Sairafiy (wafat 368 H), Ar-Raghib Al-Ashfahaniy (502 H), dan As-Suyuthiy (wafat 911 H), sedangkan dari golongan ahli nahwu kontemporer antara lain Kamal Ibrahim, Musthofa As-Saqa, dan Ali an-Najdiy Nashif (Al-Fadlali, 1986:9-17). Penokohan Abul Aswad ini didasarkan atas jasa-jasanya yang fundamental dalam membidani lahirnya Ilmu Nahwu.
Abul Aswad Ad-Du'ali (wafat 69 H) adalah orang pertama yang mendapat kepercayaan dari Khalifah Ali bin Abi Thalib untuk menangani dan mengatasi masalah lahn yang mulai mewabah di kalangan masyarakat awam. Ali memilihnya untuk hal itu karena ia adalah salah seorang penduduk Bashrah yang berotak genius, berwawasan luas, dan berkemampuan tinggi dalam bahasa Arab (Al-Fadlali, 1986:8). Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa suatu ketika, Abul Aswad melihat Ali sedang termenung memikirkan sesuatu, maka ia mendekatinya dan bertanya: "Wahai Amirul Mu'minin! Apa yang sedang engkau pikirkan?" Ali menjawab: "Saya dengar di negeri ini banyak terjadi lahn, maka aku ingin menulis sebuah buku tentang dasar-dasar bahasa Arab". Setelah beberapa hari, Abul Aswad mendatangi Ali dengan membawa lembaran yang bertuliskan antara lain:
"Bismillahir rahma:nir rahi:m. Al-kala:mu kulluhu ismun wafi'lun wa harfun. Fal ismu ma: anba?a 'anil musamma:, wal fi'lu ma: anba?a 'an harakatil musamma:, wal harfu ma: anba?a 'an ma'nan laisa bi ismin wala: fi'lin".
dengan nama Allah yang maha pengasih dan penyayang. Ujaran itu terdiri dari isim, fi'il dan harf. Isim adalah kata yang mengacu pada sesuatu (nomina), fi'il adalah kata yang menunjukkan aktifitas, dan harf adalah kata yang menunjukkan makna yang tidak termasuk kategori isim dan fi'il'.
Dalam riwayat lain dikatakan bahwa suatu ketika Abul Aswad mendengar seorang membaca ayat Al-Qur'an: "Inna AIla:ha bari:un minal mu'mini:na warasu:lihi" dengan mengkasrah lam dari kata rasu:lihi padahal seharusnya didlammah. Atas kejadian itu dia kemudian meminta izin kepada Ziyad bin Abieh, Gubernur Bashrah, untuk menulis buku tentang dasar-dasar kaidah bahasa Arab (Dlaif, 1968:15). Ibnu Salam (tanpa tahun) dalam kitabnya Thabaqa:tu Fuhu:lisy Syu'ara:" mengatakan bahwa Abul Aswad adalah orang pertama yang meletakkan dasar ilmu bahasa Arab. Hal itu dilakukannya ketika ia melihat lahn mulai mewabah di kalangan orang arab. Dia menulis antara lain bab fa:'il, maf'ul, harf jar, rafa', nashab, dan jazm."
Berbagai riwayat dengan berbagai sumber banyak sekali disebutkan oleh para ahli dalam rangka mendukung Abul Aswad seagai tokoh peletak dasar Ilmu Nahwu. Namun demikian, diantara riwayat-riwayat itu masih banyak yang diperdebatkan keabsahannya. Satu riwayat yang cukup popular dan diakui keabsahannya oleh para ahli adalah bahwa Abul Aswad berjasa dalam memberi syakal (tanda baca) pada mushaf Al-Qur'an. Sebagaimana diketahui pada mulanya tulisan Arab itu tidak bertitik dan tidak menggunakan tanda baca. Tidak ada tanda pembeda antara huruf dal dan dzal, antara huruf sin dan syin, dan sebagainya. Juga tidak ada perbedaan antara yang berbaris /a/, /i/, dan /u/. Demikian juga tulisan yang ada pada mushaf Al-Qur'an, sehingga banyak orang yang keliru dalam membaca Al-Qur'an, terutama umat Islam non-Arab (Umam, 1992). Lama kelamaan, karena khawatir kesalahan itu akan semakin mewabah, Ziad bin Abi Sufyan meminta Abul Aswad untuk mencari solusi yang tepat. Berangkat dari permintaan itu akhirnya Abul Aswad menemukan jalan, yaitu dengan memberi tanda baca dalam Al-Qur'an. Dengan tinta yang warnanya berlainan dengan tulisan Al-Qur'an. Tanda baca itu adalah titik diatas huruf untuk fathah, titik dibawah huruf untuk kasrah, dan titik di sebelah kiri atas untuk dlammah. Karena tanda baca itu berupa titik-titik, maka dikenal dengan sebutan naqthul i'rab (titik penanda i'rab) (Sirajuddin, 1992:33).
BASHRAH SEBAGAI KOTA KELAHIRAN ILMU NAHWU
Atas jasanya dalam memberi tanda baca mushaf Al-Qur'an itu Abul Aswad kemudian dikenal sebagai peletak dasar ilmu I'rab, dan setelah itu banyak orang yang datang kepadanya untuk belajar ilmu qira'ah dan dasar-dasar ilmu i'rab. Dia melaksanakan pengajaran itu di masjid Jami' Bashrah. Dari sinilah awal mula kota Bashrah dikenal sebagai kota kelahiran Ilmu Nahwu. Banyak murid yang berhasil dan kemudian menjadi generasi penerus yang mengembangkan gagasan-gagasan yang telah dirintisnya, diantaranya adalah Anbasah bin Ma'dan yang dikenal dengan panggilan Anbasah Al-fil, Nashr bin 'Ashim al-Laitsiy (wafat 89H), dan Yahya bin Ya'mur Al-Adwaniy (wafat 129 H). Anbasah kemudian mempunyai seorang murid yang banyak berpengaruh dalam pengembangan Ilmu Nahwu yaitu Maimun Al-Aqran (Al-Fadlali, 1986:26).
Perkembangan Ilmu Nahwu yang sempat dicapai pada masa Yahya bin Ya'mur dan Nashr bin Ashim antara lain adalah: (1) pembakuan sebagian istilah nahwu, seperti rafa', nasab, jar, tanwin, dan i'rab, (2) perluasan beberapa pokok bahasan nahwu, (3) mulai dipakainya pendekatan nahwiyyah dalam pembahasan masalah-masalah ilmiyah di kalangan para ulama, dan (4) mulai bermunculannya karangan-karangan dalam bidang Ilmu Nahwu, sekalipun masih belum berbentuk buku. Di samping itu, dikenalnya kota Bashrah dengan kota kelahiran nahwu juga karena kota ini selalu menjadi pusat kegiatan pengajian dan penelitian di bidang itu. Para ahli nahwu setelah generasi Yahya dan 'Ashim, seperti Ibnu Abi Ishaq (wafat 117 H) dan Abu "Amr bin Al-'Ala' (wafat 154 H) selalu getol dalam mengkaji dan meneliti berbagai masalah yang berkaitan dengan nahwu. Merekalah yang mula-mula mengembangkan metode induksi dan deduksi serta analogi dalam penyusunan Ilmu Nahwu. Untuk mengumpulkan data penelitian itu mereka tidak segan-segan melanglang buana ke berbagai penjuru jazirah Arab yang bahasanya masih dianggap murni , seperti Nejed, Hijaz, dan Tihamah. Dari daerah-daerah itu mereka pilih kabilah-kabilah yang benar-benar kuat dalam memegang kemurnian bahasa, seperti kabilah Tamim, Qais, Asad, Thayyi', dan Hudzail. Disamping itu, dalam melakukan analogi mereka tidak segan-segan merujuk pada sumber utama ilmu bahasa Arab yaitu Al-Qur'an. Mereka tidak merujuk pada Hadits Nabi dalam melakukan analogi, karena pada waktu itu hadits belum dibukukan. Jika demikian itu keadaan di kota Bashrah, maka tidak demikian apa yang terjadi di kota Kufah (yang pada akhirnya juga dikenal dengan aliran nahwunya). Di saat Bashrah sedang gencar-gencarnya mengkaji dan membahas berbagai hal yang berkaitan dengan Ilmu Nahwu, sampai pertengahan akhir abad kedua Hijriah, Kufah masih berkutat pada pembacaan Al-Qur'an dan pengumandangan syair dan prosa. Dalam hal ini Ibnu Salam berkata: "Bashrah lebih dahulu menaruh perhatian terhadap kaidahkaidah bahasa Arab" (Ibnu Salam, tanpa tahun:12). Senada dengan itu, Ibnu Nadim(dalam Dlaif, 1968:20) mengatakan: "Saya lebih mengutamakan pendapat ulama Bashrah, karena dari merekalah Ilmu Nahwu mula-mula dipelajari" Kemajuan Bashrah dalam bidang Ilmu Nahwu itu juga tidak terlepas dari perannya dalam bidang sosial budaya. Bashrah pada saat itu merupakan pusat perdagangan negara Iraq, sehingga kota itu banyak menerima pertukaran budaya dengan negara-negara asing. Selain itu, dibandingkan dengan Kufah, Bashrah juga lebih dekat ke Jundaisabur, Persi yang saat itu merupakan pusat pengkajian budaya dan filsafat Yunani, Persi, dan Hindia. Oleh karena itu pemikiran Bashrah secara umum lebih mendalam dari pada pemikiran kufah, dan lebih siap untuk mengkaji dan mengkonstruksi berbagai macam ilmu.
DAFTAR REFERENSI

http://jejaknahwushorof.blogspot.com/2009/11/siapakah-pencetus-pertama-ilmu-shorof.html
http://ar.wikipedia.org/wiki/أبو_الأسود_الدؤلي
ibrahim hasan, hasan, dr. tarikh al-islamy al-juz al-awwal: as-siyasy wa ad-dinny wa ats-tsaqafy wa al-ijtima’I.
muslim, abdul, dr. tarikh al-khadarah al-islamiyyah fi al-‘ushur al-wustha.

Comments