Tragedi Percobaan Pembunuhan Terhadap Presiden Sukarno

Belakangan, kesaksian percobaan pembunuhan terhadap Presiden Sukarno tatkala sedang khusyuk melaksanakan sholat Idul Adha 14 Mei 1962 yang melukai politisi Partai NU KH. Zainul Arifin (Ketua DPRGR) mulai bermunculan di media massa dan buku-buku sejarah. Sebelumnya, insiden tersebut terkesan agak ditutupi.

Hal ini berlangsung sebab kala itu pemerintahan Sukarno berusaha keras mencegah media massa absurd menyoroti problem Islam radikal di Indonesia dan menganggap negeri ini mempunyai bahaya keamanan serius, sementara Indonesia sedang diambang menjadi tuan rumah perhelatan olahraga paling akbar di benua Asia, Asian Games.

Akibatnya, pemberitaan percobaan pembunuhan terhadap Kepala Negara dari jarak yang begitu akrab cenderung spekulatif. Detasemen Kawal Pribadi (DKP) Presiden lebih menentukan tutup mulut  mengenai hal itu.

Kesaksian Mangil Martowijoyo

AKBP Mangil Martowijoyo dalam autobiografinya Kesaksian perihal Bung Karno, 1945-1967(1999: 331) sebagaimana dikutip tirto.id bersaksi, sehari sebelum Idul Adha yang jatuh pada 14 Mei 1962, Kapten CPM Dachlan tiba ke rumahnya melaporkan sinyalemen adanya perjuangan pembunuhan dari kelompok Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) terhadap Presiden Sukarno sempurna di hari umat Islam melaksanakan solat Idul Adha. Sukarno dan tokoh agama dijadwalkan akan  solat Id di halaman Istana—yang boleh diikuti pula oleh masyarakat luas.

Besoknya, pada 14 Mei 1962, Mangil sengaja tiba ke lapangan antara Istana Merdeka dengan Istana Negara daerah Sukarno akan solat bersama rakyat. Setelah melaksanakan penyisiran ke setiap sudut lokasi, Mangil mengatur seni administrasi pengamanan menjadi enam pos dengan dua pengawal presiden berjaga dengan bersenjatakan Senapan AR-15 (versi sipil M-16) . 

Tembakan Rakaat Kedua Oleh Kelompok Islam Radikal

Ketika Imam sholat KH. Idham Chalid gres mau bertakbir sehabis rukuk terdengarlah ajakan lantang, "Allahu Akbarrr.." disusul letusan peluru dari baris keenam (versi lain menyebut dari barisan ketiga). Komisaris Soedrajat berbalik berusaha melundungi Presiden, namun malah jatuh terkena tembakan. Sedangkan Pembantu Letnan Wahid eksklusif meringkus penembak gelap.

Belakangan terungkap, persekutuan pembunuh Presiden itu terdiri dari belum dewasa muda DI/TII. Mereka adalah: Sanusi alias Fatah alias Soleh (32), Harun alias Kami alias Karta (27), Djaja Permana bin Embut alias Hidayat alias Mustafa (35), Tapbi alias Ramdan alias Jahaman bin Mahadi alias Iding (30), Abidin alias Hambali bin Tajudin (22), Cholil alias Pi'I bin Dachroj (20), Dachja bin Candra alias Musa (28), dan Nurdin bin Satebi (19)

Presiden Sukarno bersama KH. Zainul Arifin


Kesaksian Bambang Wijanarko

Sebagai penganut Katolik, asisten Sukarno, Bambang Wijanarko pagi itu tidak solat. Dia duduk di beranda belakang Istana akrab pantry. Dari sanalah ia menyaksikan insiden penembakan yang eksklusif menciptakan jemaah panik. Dalam buku Sewindu Dekat Bung Karno (1996, 115) Wijarnako menggambarkan kepanikan yang terjadi pasca tembakan pertama. "Ada yang berteriak, ada yang eksklusif tiarap, ada yang bangkit dan terus berlarian menjauhkan diri."

Diceritakannya pula, bagaimana para anggota DKP dengan sigap eksklusif membagi pasukan menjadi dua, sebagian melindungi Presiden dengan menubruk Sukarno hingga tiarap dan tertutupi tubuh-tubuh para pengawal, sebagian lagi eksklusif meringkus pelaku penembakan. Pengawal-pengawal Kepala Negara lalu mengelilingi Presiden dalam bundar sambil mengacungkan senjata dan mengamankan Sukarno ke kantor asisten di cuilan barat Istana.

Dalam suasana demikianlah, peluru penembak gelap mengenai Ketua DPRGR KH. Zainul Arifin dari pundak ke arah dada, hingga dasinya terputus. KH. Zainul Arifin pun tersungkur ke atas sajadah memegangi dadanya yang eksklusif bersimbah darah.


Kesaksian Guntur Soekarnoputra

Kala itu usia putra sulung Presiden Sukarno ini gres 18 tahun. Pagi itu beliau tidak ikut sholat Id. Ketika letusan terdengar, dikiranya itu bunyi knalpot motor besar para pengawal Kepala Negara.

Saya lihat dari jendela, pasukan pengawal menyeret orang yang lalu saya ketahui sebagai pelaku penembakan Bapak. Ia diseret dan dipepetkan di sebuah pohon, persis di samping kamar Bu Mega (Megawati Soekarnoputri)," ungkap Guntur Sukarnoputra.

Guntur menyaksikan penembak gelap sedang dihajar para pengawal di cuilan perut dan wajah hingga lebam dan berdarah-darah. Sampai Mangil Martowijoyo tiba mengingatkan semoga pelaku jangan dipukuli hingga mati.

Media massa menahan diri dalam memberitakan insiden percobaan pembunuhan Presiden dari jarak akrab ini sebab tidak ingin masyarakat internasional memandang rongrongan Islam ekstremis DI/TII sebagai problem keamanan yang serius. Hal ini dilakukan sebab beberapa bulan sehabis insiden tersebut pesta olahraga akbar Asian Games ke-4 akan dilangsungkan di Jakarta.


Sumber: Situs PBNU

Comments