Kh. Saifuddin Amsir, Orang Biasa Yang Menjadi Ulama Besar

Biografi Singkat

Siapa tak mengenal KH. Saifuddin Amsir? Warga Nahdliyin Jakarta niscaya mengenal kiai kharismatik ini. Saifuddin bin Amsir Naiman al-Batawiy yaitu salah seorang ulama Betawi (sebutan Jakarta tempo dulu) terkemuka kurun ke-21. Ia dikenal sebagai seorang ulama yang sangat kuat di Jakarta. 

Beberapa karya yang telah diraciknya dari pelbagai literatur klasik karangan para sarjana masa kemudian merupakan bukti kecerdasan dan keluasan ilmu yang dimiliki KH. Saifuddin Amsir.

Karyanya yang telah dicetak antara lain: 1) Tafsir Jawāhir al-Qur’ān (empat jilid), 2) Majmū’ al-Furū’ wa al-Masāil (tiga jilid), dan 3) al-Qur’ān, I’jazan wa Khawāshan, wa Falsafatan. Karya yang disebut terakhir ini merupakan magnum opus/masterpiece(karya besar) Kiai Amsir yang telah diteliti oleh para sarjana dalam dan luar negeri.

Pasalnya, selain beraliran tafsir falsafi, kitab ini merupakan racikan dari beberapa tema dari kitab Jawāhir al-Qur’ān (hlm. 1-140), al-Dzahāb al-Ibrīz fi Khawāsh al-Qur’ān al-Aziz (142-172), Qānūn al-Ta’wīl (173-184). Ketiganya karya Hujjat al-Islām Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazāli ath-Thūsī asy-Syāfi’ī.

Kitab ini juga terinspirasi dari beberap kitab. Antara lain Fadhāil al-Qur’ān karya Syeikh al-Hāfidz Ibn Katsir (hlm. 175-312), ‘Ajāib al-Qur’ān karya Syeikh Fakhruddin al-Rāzī (hlm. 313-475), dan al-Dur al-Nadzim fi Khawāsi al-Qur’ān al-Karīm karya Imam al-Yafi’i (hlm. 477-623). Komentar (syarah) yang ditulis Kiai Saifuddin Amsir menyertai tiap bahasan yang dinukil dari kitab-kitab tersebut.

Dalam menyusun karyanya, Rais Syuriah PBNU ini menentukan karya-karya Imam al-Ghazali sebagai referensi yang sangat representatif dalam membahas tema-tema terkait dengan I’jāz (Kemukjizatan), Khawās (Kekhususan), dan Falsafat (Filosofi) al-Qur’an. Dalam daftar pustaka karangannya, disebutkan al-Ghazali mempunyai karya tafsir sebanyak 30 jilid.

Ditanya mengapa karya al-Ghazali sangat menginspirasi dalam penulisan karyanya, Kiai Saifuddin menyampaikan pemikiran brilian al-Ghazali tak hanya menjadi referensi para sarjana muslim, namun juga sarjana non muslim. Aneka pemikiran al-Ghazali sungguh fenomenal. Margaret Smith dalam bukunya yang berjudul “Al-Ghazali: The Mystic” yang diterbitkan di London, Inggris, tahun 1944, menegaskan: “Tak diragukan lagi bahwa buah pikir al-Ghazali begitu menarik perhatian para sarjana di Eropa.”

Merawat Majlis Ta’lim

Di luar kesibukannya berkarya, Kiai Saifuddin Amsir masih tetap istiqamah menggawangi banyak sekali majlis ta’lim yang tersebar di seantero Jakarta. Mudah hari-harinya penuh jadwal pengajian di hampir 20 majlis ta’lim yang berada di banyak sekali pelosok Ibukota Republik Indonesia.

Abuya--demikian masyarakat Betawi menyapanya—merupakan sosok yang low profile. Tak jarang, santri yang senantiasa menyertainya merasa dekat kolam teman sejawat. Namun, ketika sedang mengajar atau di atas mimbar, kharismanya sungguh terasa. Bak singa podium, Kiai Amsir bisa menarik perhatian publik. Tak jarang, ketika ia berpidato para hadirin berdecak kagum karena kemapuan retorika dan argumentasinya sangat logis dan yummy dicerna.

Tak ayal, kemampuan panggungnya ini menarik para politisi untuk mendekati dirinya biar bersedia bergabung dengan partai tertentu. Namun, Kiai Amsir dengan halus menolak semua politisi yang melobinya untuk sekedar menjadi vote getter. Meski demikian, ketika PBNU membidani kelahiran Partai Kebangkitan Bangsa, Kiai Amsir pernah bergabung karena penghormatannya yang besar kepada Gus Dur.



Masa kecil

Saifuddin kecil, lahir di Jakarta pada 31 Januari 1955. Ia tumbuh dan besar di sebuah keluarga sederhana yang bersahaja. Ayahnya, Haji Amsir Naiman, yaitu seorang guru mengaji di kampung kawasan tinggalnya: Kebon Manggis, Matraman. Sedangkan ibunya, Hajjah Nur’ain, seorang ibu rumah tangga yang secara penuh ketulusan dan pengabdian tinggi mengabdikan dirinya untuk mengurus anak dan keluarga.

Sejak kecil, putra kelima dari sepuluh bersaudara ini sudah diajari sifat-sifat yang menjadi pola bagi dirinya kelak di kemudian hari. Dengan keras sang ayah mendidiknya untuk berperilaku lurus dan mandiri. Tidak ada kompromi bagi suatu pelanggaran yang telah ditetapkan ayahnya. Bersama sembilan orang saudaranya, ia dibiasakan untuk menunaikan shalat berjamaah dan mengaji al-Qur’an.

Keinginan kuatnya dalam menimba ilmu-ilmu agama sudah terpatri kuat sedari kecil. Menyadari dirinya bukan berasal dari keluarga ulama dan juga bukan dari kalangan yang berada, Saifuddin kecil menyiasatinya untuk berusaha sanggup berdiri diatas kaki sendiri dan tidak bergantung kepada kedua orangtuanya. Ia berusaha menutupi biaya kebutuhan pendidikannya sendiri, bahkan semenjak ia masih duduk di kursi sekolah dasar.

Berkat ketekunannya dalam belajar, ia pun selalu menerima beasiswa dari sekolah. Kegigihannya dalam terus mempelajari banyak sekali macam ilmu secara belajar sendiri maupun berguru kepada para ulama terkemuka di masa mudanya, telah mengakibatkan dirinya sebagai salah seorang ulama Jakarta yang cukup terkenal dan disegani dikala ini.

Di waktu kecil, selain mengaji kepada kedua orangtuanya sendiri, ia juga berguru di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Al-Washliyah. Di sela-sela waktunya, ia mempelajari banyak sekali macam ilmu secara otodidak. Ia juga bahagia membaca pelbagai macam buku bacaan semenjak masih kecil. Sewaktu duduk di kursi Madrasah Tsanawiyah, ia mulai banyak berguru kepada beberapa ulama di banyak sekali wilayah Jakarta.

Di antara ulama yang tercatat sebagai gurunya yaitu KH. Abdullah Syafi’i, KH. Muhammad Syafi’i Hadzami Kebayoran Lama, Habib Abdullah bin Husein Syami Al-Attas, dan Guru Hasan Murtoha. Kepada para guru tersebut, ia mempelajari pelbagai cabang ilmu keislaman. Pada dikala menimba ilmu kepada Habib Abdullah, di antara kitab yang ia khatamkan di hadapan gurunya itu yaitu kitab Minhaj al-Thalibin (karya Imam al-Nawawi) dan kitab Bughyat al-Mustarsyidin (karya Habib Abdurrahman Al-Masyhur).

Dari waktu ke waktu dalam menempuh pendidikan formalnya itu, ia selalu menorehkan prestasi yang gemilang. Sewaktu lulus aliyah, misalnya, ia tercatat sebagai lulusan aliyah dengan nilai terbaik se-Jakarta. Setelah pendidikan formalnya di jenjang pendidikan dasar dan menengah usai ia lewati, ia menjadi mahasiswa di Fakultas Syari’ah Universitas Islam Asy-Syafi’iyyah (UIA) dan menerima gelar sarjana muda di kampus KH. Abdullah Syafi’i tersebut.

Pada medio 1982, ia mendaftarkan diri pada Jurusan Akidah dan Filsafat Fakultas Ushuluddin IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (sekarang UIN Jakarta-red) dikala jurusan itu gres dibuka oleh Rektor IAIN Prof. DR. Harun Nasution, MA. Karena banyak sekali prestasi yang telah dicapai sebelumnya, ia menjadi satu-satunya mahasiswa yang diterima di IAIN tanpa melalui tes masuk. Setelah menyelesaikan masa kuliahnya, di waktu kelulusan lagi-lagi ia tercatat sebagai lulusan IAIN terbaik.

Kini, sehabis tidak mengajar di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, KH. Saifuddin Amsir masih terus menikmati belantara ilmu pengetahuan berbasis kitab kuning (al-kutub al-turats) karya para sarjana masa lalu. Dari aneka macam kitab tersebut kemudian diringkas dan di-tahqiq menjadi sebuah karya besar yang lebih membumi biar bermanfaat bagi sekitar. Ia juga berkhidmah di ormas terbesar di Indonesia, yaitu Nahdlatul Ulama (NU). Dari mulai menjadi Syuriyah PBNU hingga menjadi Mustasyar PBNU hingga kini (Periode 2015-2020).  


Oleh: Musthofa Asrori

Comments