Kisah Keikhlasan Gus Dur Dalam Beramal

Dikisahkan oleh Ketua PWNU Jawa Timur, KH Marzuki Mustamar, perihal keikhlasan sosok KH AbdurrahmanWahid (Gus Dur). Suatu hari KH Maimoen Zubair (Mbah Moen) menggelar program ijab kabul putra beliau. Saat itu, untuk membantu kelancaran acara, Gus Dur memperlihatkan santunan banyak sekali  sehingga program ijab kabul sanggup berjalan dengan baik.

Selanjutnya Gus Dur pun berkata kepada Mbah Moen bahwa kewajibannya untuk membantu program Mbah Moen sudah dilaksanakan. Sekarang saatnya Mbah Moen membantunya dengan menutupi semua amal kebaikan yang sudah dilakukannya dan tidak menceritakan kebaikannya tersebut kepada orang lain dengan banyak sekali cara. Salah satunya, Gus Dur meminta kepada Mbah Moen untuk akal-akalan saling bermusuhan supaya segala amal kebaikannya tidak diketahui oleh orang lain. Cukup Allah SWT yang tahu. Oleh alasannya yaitu itu ketika semasa hidup Gus Dur, Mbah Moen dan Gus Dur terlihat sangat bermusuhan alasannya yaitu memang sudah direncanakan untuk bersandiwara.

Namun ketika Gus Dur meninggal dunia, sandiwara pun usai. Mbah Moen lah yang memimpin prosesi pemakaman Gus Dur. Tidak hanya itu, prosesi selanjutnya, Mbah Moen lah yang mengimami tahlil takziyah hari ketujuh. Mbah Moen lah yang mengisi mauidzah hasanah peringatan 1000 hari wafat dan haulnya Gus Dur. Makara bahu-membahu Gus Dur dan Mbah Moen tidaklah bermusuhan namun hanya bersandiwara atau akal-akalan permusuhan untuk menutupi amal baik Gus Dur. “Gus Dur benar-benar wali,” kata Kiai Marzuki Mustamar.

Kisah kedua perihal keikhlasan Gus Dur terjadi ketika Gus Dur membawa tiga buah koper ke rumah seseorang yang berjulukan Agus di  Kelurahan Jatikerto Malang. Gus Dur berkata kepada Agus untuk tidak membuka koper tersebut sebelum  Gus Dur meninggal dunia.

Sesuai amanah, sehabis Gus Dur meninggal dunia, dibukalah koper tersebut dan ternyata didalamnya berisi uang sebanyak 3 miliar rupiah. Saat dibuka, uang dalam koper tersebut sudah dimasukkan ke dalam amplop yang nantinya, Agus lah yang bertugas untuk membagikannya kepada para anak yatim piatu dan para janda di Kabupaten Malang.

Dan luar biasanya lagi, di dalam amplop tersebut sudah tertulis nama dan alamat yatim piatu dan para janda yang akan menerimanya. Inilah karomah Gus Dur sanggup tahu nama dan alamat anak yatim dan para janda sebegitu banyak di Malang. Padahal kala itu, Gus Dur berada di Jakarta sedangkan para akseptor uang dalam koper berada di Kabupaten Malang.

Kiai Marzuki pun pernah mencicipi sendiri keikhlasan dari Gus Dur ketika dirinya mendapatkan sarung brand BHS yang diberikan Gus Dur melalui seorang Habib di Sidoarjo. Habib tersebut berkata bahwa sarung itu yaitu titipan dari Gus Dur yang harus diberikan kepada para kiai sehabis Gus Dur meninggal Dunia. Karena ketika dibagi sebelum Gus Dur meninggal, maka para kiai akan mengucapkan terima kasih kepada Gus Dur. Maka itu, hingga kini sarung itu pun sangat disayang oleh Kiai Marzuki. Ia menyebut sarung tersebut sebagai piagam dari Gus Dur.



Kisah lain keikhlasan sosok Gus Dur yaitu ketika ditanya oleh seseorang perihal apa yang paling penting di dalam hidupnya. Gus Dur pun menjawab baginya yang terpenting nomor satu yaitu bangsa, nomor dua yaitu NU dan nomor 3 yaitu keluarga.

Ini pun bukan omongan belaka. Prinsip ini benar-benar dibuktikan oleh Gus Dur ketika suatu hari gres kembali dari Italia membawa uang yang cukup banyak. Ia tidak pribadi pulang ke rumahnya namun mampir mampir terlebih dahulu di Kantor NU.

Uang yang dibawa tersebut pribadi habis dibagikannya kepada seluruh pegawai di kantor NU. Tidak ada yang tersisa untuk keluarga di rumah. Ketika Ibu Shinta Nuriyah (Istri Gus Dur) menanyakan uang tersebut untuk mengirim biaya putrinya yang sedang kuliah di Universitas Gajah Mada, Gus Dur pun menjawab bahwa uang tersebut sudah dibagikannya ke pegawai di Kantor NU.

Ibu Shinta pun jengkel dan menanyakan alasan kenapa uang tersebut dihabiskan di Kantor NU. Ditengah Ibu Shinta meluapkan kejengkelannya, Gus Dur malah sanggup tertidur pulas, tidak mendengarkan apa yang dikatakan oleh istrinya. Ternyata prinsip “Emang Gue Pikirin, Gitu Aja Kok Repot” benar-benar tertanam dalam diri Gus Dur. Ia tetap sabar dan lapang dada walaupun dimarah dan diomong apapun oleh orang lain.

Gus Dur tidak punya hasrat supaya amal baiknya dipuji oleh orang lain. Yang terpenting menurutnya Allah lah yang akan mencatatnya. Itulah mengapa ketika Gus Dur wafat, orang yang semasa hidupnya mengkafir-kafirkan dan menyampaikan Gus Dur sesat dan sebagainya merasa kehilangan dan semua orang pun menangis. Gus Dur mempunyai magnet yang sangat berpengaruh alasannya yaitu keikhlasan yang dicontohkannya semasa hidup di dunia.

Wallahu A’lam


Sumber: Situs PBNU

Comments