Kisah Ulama Besar Mesir Membersihkan Wc Umum

Syaikh Mutawalli as-Sya'rawi rahimahullah dalam perjalanan pulang dari mengisi kuliah umum di sebuah Universitas menentukan berhenti di area toilet umum. Sopir yang mengantar ia merasa heran, Syaikh Mutawalli ternyata sedang membersihkan dan menyikat lantai toilet.

"Apa yang Anda lakukan, wahai Syaikh?" tanya sopir

"Saya sedang menebus dosa yang gres saja saya lakukan. Saya merasa gembira dikala pulang dari kuliah umum dan mendapat penghormatan yang luar biasa dari Universitas. Dengan begini, saya sedang menenangkan hati saya sendiri bahwa saya bukan siapa-siapa." jawab Syaikh Mutawalli sambil menahan isak sedih.

Dari dongeng tersebut, kita sanggup mengambil pelajaran penting bahwa sekian panjang perjalanan hidup, gotong royong kiprah besar insan ialah noto ati (menata hati). Kata Baginda Nabi saw. “Hati ialah sentra segala energi yang bisa menarik insan pada dua keadaan: hening dan panik (gundah)”.

Hati hening ialah hati yang lepas dari kecenderungan duniawi : pujian, sanjungan, kehormatan dan gembira diri. Hati panik ialah hati yang mengikat pada semua kecenderungan dan keinginan. Apa saja yang tampak menyenangkan, mengenyangkan, memuaskan, ia masukkan ke dalam hati sehingga menjadi ramai. Hati yang terlalu ramai dengan kecenderungan duniawi, gotong royong sedang pelan-pelan menutup diri dari cahaya Allah.

Itulah sebabnya, menata hati ialah ibadah yang paling berat. Manusia bisa mendirikan shalat sehari semalam tanpa henti, insan bisa merampungkan puasa berhari-hari, insan bisa membiasakan diri berangkat ke tanah suci. Tetapi, seluruh energi ibadah itu akan sia-sia kalau hati sebagai sentra dari energi sesungguhnya, justru ramai, keruh bahkan gelap lantaran banyaknya tumpukan keinginan-keinginan duniawi. Termasuk harapan dimuliakan, diistimewakan dan dielu-elukan ialah kecenderungan insan yang bisa menghambat petunjuk Allah. Petunjuk Allah meliputi; ilmu, pesan yang tersirat dan berkah.

Hati ialah daerah dimana Allah berhak hadir di dalamnya. Manusialah yang justru menghadirkan selain Allah di dalam hatinya. Menempatkan diri sebagai insan biasa ialah satu dari sekian panjang perjuangan lahir batin menata hati. Itulah yang dicontohkan oleh orang-orang shaleh dahulu : tidak menuntut keistimewaan atas nama keren dan wibawa.

Kyai Adlan Ali, Cukir, Jombang rahimahullah, seorang Kyai besar yang memiliki ribuan santri justru setiap pagi dan sore hari menyapu sendiri lingkungan pesantrennya. Sampai-sampai suatu dikala pernah disuruh-suruh angkat koper dan karung oleh santri gres yamg melihat Kyai Adlan tampak menyerupai orang biasa.



Apa yang gotong royong orang-orang shaleh upayakan itu ialah untuk menetralisir atau menenangkan energi hati yang sewaktu-waktu bisa menyeret insan pada kesombongan.

Imam Ghazali pernah berkata, "Tidak ada kemampuan yang lebih berat, lebih besar daripada kemampuan mengendalikan hati sendiri."

Sebab, tidak mungkin hati bisa menampung dua kecenderungan atau lebih, kecuali insan yang sedang mempersiapkan kehancuran dirinya sendiri. Wahai Dzat Yang Membolak-balikkan hati, tetapkanlah dan mantapkanlah hati kami dalam jalan agama-Mu serta beribadah taat kepada-Mu.

اللهم صل وسلم على سيدنا محمد وعلى آل سيدنا محمد

Wallahu A’lam

Oleh: KH. Hisyam Zamroni

Comments