Riwayat Singkat Kh. Mohammad Hasan Genggong


Nama : Mohammad Hasan (KH. Mohammad Hasan)
Nama Masa Kecil : Ahsan
Nama Akrab : Kiai Hasan, Kiai Hasan Sepuh.
Tanggal Lahir : Probolinggo, 27 Rajab 1259 h / 23 Agustus 1843 m
Tanggal Wafat : Probolinggo, 11 Syawal 1374 h / 1 juni 1955 m
Alamat Asal : Desa Sentong Kecamatan Krejengan Kabupaten Probolinggo
Alamat Tinggal : Desa Karangbong Kecamatan Pajarakan Kabupaten Probolinggo
Nama Ayah : Syamsuddin (Kiai Syamsuddin / Kiai Miri)
Nama Ibu : Khadijah (Nyai Khadijah / Nyai Miri)



KH. Mohammad Hasan, begitulah nama lengkap tokoh kita di naskah ini. Di masa kecil, dia berjulukan Ahsan. Beliau lahir di sebuah desa berjulukan Sentong. Sentong terletak 4 km arah selatan kraksaan. Dulu, desa Sentong masih berada di wilayah kawedanan Kraksaan. Saat ini Sentong termasuk wilayah Kecamatan Krejengan.

Pada suatu malam, langit cerah waktu itu, sepasang suami istri tidur terlelap di rumahnya. Si suami, seorang lelaki berjulukan Syamsuddin sehari-hari bekerja mencetak genteng. Genteng yang diolah dari tanah liat dijual untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Istrinya, menyerupai perempuan pada umumnya, yakni seorang ibu rumah tangga yang patuh pada suaminya. Khadijah–nama istrinya–juga turut membantu pekerjaan suaminya itu dan menyiapkan hidangan yang layak untuk suaminya. Keluarga itu yakni keluarga yang bahagia.

Malam itu Syamsuddin bermimpi indah. Dalam mimpinya ia melihat istrinya merenggut bulan purnama kemudian bulan itu ditelan tanpa tersisa sedikitpun. Ketika terbangun, syamsuddin bertanya-tanya apa makna mimpinya itu. Berhari-hari dia merasa penasaran, namun belum ada balasan yang sanggup memuaskan rasa penasarannya itu. Syamsuddin dan istrinya hanya bisa bermunajat kepada Allah SWT berharap bahwa mimpi itu merupakan menunjukan baik bagi mereka berdua. Aktifitas mereka berdua kembali menyerupai biasa. Suatu hari Khadijah merasa bahwa dia sedang hamil untuk kedua kalinya. Sepertinya mimpi suaminya bahwa khadijah menelan bulan purnama menandakan bahwa dia akan hamil.

Syamsuddin yakni orang yang rajin bersedekah, begitu pula Khadijah istrinya. Setiap menerima hasil kerja, tak lupa mereka bederma kepada orang-orang yang berhak. Suami istri ini yakni keluarga yang taqwa kepada Allah SWT. Ibadah yakni rutinitas yang utama dalam keluarga ini. Di lingkungannya, keluarga ini yakni salah satu keluarga terpandang. Masyarakat memanggil suami istri itu dengan sebutan Kiai dan Nyai. Jadilah panggilan mereka berdua Kiai Syamsuddin dan Nyai Hajjah Khadijah. Namun masyarakat lebih bersahabat memanggil mereka dengan sebutan lain yaitu Kiai Miri dan Nyai Miri. Hingga wafatnya, pasangan Kiai Miri-Nyai Miri ini mempunyai 5 orang putra.
Kiai Miri yakni putra dari Kiai Qoiduddin, sedangkan Nyai Khadijah ini yakni anak ke-2 dari 8 bersaudara dari suami istri yang Qomariz Zaman. Qomariz Zaman bersama-sama yakni nama sang ibu, sedangkan nama ayah Nyai Khadijah tidak diketahui. Kelak, nama Qomariz Zaman ini diabadikan sebagai sebuah ikatan perkumpulan anak keturunan kakek-nenek Qomariz Zaman.

Waktu terus berlalu dan ketika genap hitungannya, lahirlah jabang bayi pria yang dinanti-nantikan itu. Ketika itu tanggal 27 rajab 1259 h, kurang lebih bertepatan dengan 23 agustus 1843 m. Oleh Kiai Miri, putranya itu dia beri nama Ahsan; Ahsan bin Syamsuddin.
Ahsan tumbuh selayaknya anak kecil pada umumnya. Di bawah bimbingan ayah dan ibunya, Ahsan mendapatkan bimbingan yang layak. Namun kebahagiaan itu tak bertahan usang alasannya sang ayah, Kiai Miri, meninggal dunia pada ketika Ahsan masih kecil. Jadilah Ahsan hanya diasuh oleh sang ibunda.

Ketika kecil, Ahsan telah menampakkan suatu keistimewaan tersendiri dibandingkan saudara-saudara dan teman-teman sebayanya. Keistimewaan itu tercermin dari sifat-sifat yang menempel pada diri Ahsan. Sikap, tutur bahasa, dan tata krama pada orang sekitarnya sangat sopan dan santun. Ahsan juga termasuk anak yang cerdas pikirannya, cepat daya tangkap hafalannya serta berpengaruh daya ingatnya, merupakan sifat-sifat yang memang dimiliki semenjak kecil. Pergaulannya sehari-hari senantiasa dibimbing ibundanya dengan baik. Selain ibunda, Ahsan juga dibimbing oleh seorang pamannya yang berjulukan sama dengan sang ayah yaitu Kiai Syamsuddin.
Pamannya ini mempunyai seorang putra berjulukan Asmawi. Asmawi berusia lebih renta dari Ahsan sehingga Ahsan memanggil Asmawi dengan sebutan kakak. Sebaliknya Asmawi memanggil Ahsan dengan sebutan Adik. Mereka berdua selalu bersama-sama semenjak kecil hingga melanglang buana menuntut ilmu di Mekkah.

Sebagai pribadi, Ahsan kecil mempunyai sifat rendah hati, ikhlas, selalu menghormati orang lain, ramah pada siapapun yang dijumpai. Sebagai seorang muslim, ahsan menganggap bahwa dirinya mempunyai kewajiban untuk senantiasa meningkatkan dan memperbaiki kualitas moral yang terdapat dalam diri beliau. Dalam Islam, budpekerti mempunyai dimensi yang luas dan universal. Mencakup budpekerti terhadap apapun dan siapapun yang ada di sekitar kita. Termasuk budpekerti terhadap lingkungan, terhadap alam, terhadap hewan, dan lain sebagainya.
Dalam bertutur kata Ahsan diajarkan untuk selalu berkomunikasi dengan bahasa madura yang halus dan santun disertai dengan perilaku yang lemah lembut pula. Ahsan tak pernah memakai bahasa madura dengan aksen berangasan pada siapapun. Kelak, budpekerti dia itu tetap merupakan ciri khas tersendiri yang dimilikinya hingga wafat. Hal ini tak lepas dari pedoman yang diberikan oleh ibunda dia dan pamannya itu yang mengajarkan akhlakul karimah dan makna kepercayaan dan taqwa pada Allah SWT.

Sebagai seorang muslim, Ahsan meyakini, bahwa Allah yakni sumber segala sumber dalam kehidupan. Allah yakni pemberi hidayah dan pedoman hidup dalam kehidupan manusia, dan lain sebagainya. Jika keyakinan semacam ini bisa diterapkan dalam diri setiap muslim, maka akan muncul penerapan keyakinan bahwa Allah yakni yang pertama kali harus dijadikan prioritas dalam berakhlak. Akhlak terhadap Allah ini merupakan pondasi atau dasar dalam berakhlak terhadap siapapun yang ada di muka bumi ini. Jika seseorang tidak mempunyai budpekerti positif terhadap Allah, maka ia tidak akan mungkin mempunyai budpekerti positif terhadap siapapun. Demikian pula sebaliknya, kalau ia mempunyai budpekerti yang karimah terhadap Allah, maka ini merupakan pintu gerbang untuk menuju kesempurnaan budpekerti terhadap orang lain.

Ahsan semenjak kecil telah menerima didikan yang baik. Ahsan yakni seorang anak yang taat dan rajin menjalankan terhadap perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Dalam setiap pekerjaan atau aktifitas kesehariannya, ia mempunyai rasa tanggung jawab atas amanah yang diembankan padanya. Segala sesuatu yang dia hadapi dianggapnya sebagai sebuah bentuk tanggung jawab yang dilarang ia hindari. Ahsan sadar betul bahwa segala sesuatu yang terjadi yakni atas kehendak Allah SWT. Dalam setiap aktifitas yang dijalaninya dengan perasaan tulus dan ridha. Semuanya merupakan ketentuan Allah SWT.
Setiap kali melaksanakan aktifitasnya sehari-hari, Ahsan tidak pernah lupa atas kewajibannya sebagai muslim. Apabila telah datang waktunya, maka buru-buru Ahsan segera pulang untuk melaksanakan kewajiban sholat 5 waktu. Dalam sholatnya, tidak lupa ia memohon petunjuk kepada Allah SWT atas setiap perbuatannya. Ahsan senantiasa memohon ampunan dengan bertaubat kepada Allah SWT. Ia beribadah semata-mata hanya mengharap ridla Allah. Di luar kewajibannya melaksanakan ibadah sholat, Ahsan juga seorang bocah yang rajin melantunkan bacaan Al-Qur’an di rumahnya yang sederhana.

Setelah ditinggal wafat oleh ayahandanya, mudah hanya ibundanya yang mengasuh Ahsan secara intensif. Layaknya orang renta pada umumnya, Nyai Miri mendidik Ahsan dengan kesabaran. Orang renta yakni orang yang paling dekat dengan seorang anak. Demikian juga dengan Ahsan dengan Nyai Miri; hubungan antara seorang anak dan ibu. Ahsan menaruh budpekerti yang baik kepada ibundanya ini. Baginya, tidak ada sesuatu yang bisa menggantikan kebaikan ibundanya itu. Pengorbanan yang diberikan oleh seorang ibu tidak sebanding dengan penghargaan apapun yang diberikan seorang anak. Oleh alasannya itulah, pengorbanan yang demikian besarnya dari orang tua, dibalas oleh Ahsan dengan budpekerti dan etika yang baik terhadap mereka.

Ahsan kecil mencar ilmu mengaji al-qur’an dan pengetahuan keagamaan di kampung halamannya. Bersama Asmawi dan sahabat masa kecilnya yang lain, Ahsan berguru pada Kiai Syamsuddin. Pada dasarnya memang Ahsan dan Asmawi yakni belum dewasa yang cerdas. Selain cerdas, keduanya juga rajin dan punya rasa ingin tahu yang besar, terlebih lagi pada ilmu pengetahuan. Tak heran, keduanya selalu tercepat dalam pelajaran hafalan dan hafalannya tetap berpengaruh diingat meski telah usang dihafalkan. Pelajaran yang disampaikan gampang sekali dicerna oleh keduanya. Sementara teman-temannya yang lain masih ketinggalan pelajaran, Ahsan dan Asmawi telah bisa menuntaskan beberapa bab pelajaran di depan mereka. Selalu begitu hingga menginjak cukup umur nanti. Ahsan hafal di hari senin, Asmawi hafal di hari selasa, maka teman-temannya hafal di senin berikutnya.
Dari tahun ke tahun Ahsan dan Asmawi kemudian menginjak masa remaja. Masa kecil keduanya telah berlalu. Didikan dan bimbingan yang baik yang ditanamkan oleh ibunda dan pamannya merupakan bekal yang berharga untuk segera menentukan langkah di masa depan mereka.
Dengan bekal rasa ingin tahu dan haus pada ilmu pengetahuan yang memang besar, bersama Asmawi mereka ingin menyebarkan wawasan dan ilmu mereka. Ketika itu Ahsan berusia 14 tahun. Setelah berpamitan pada ibunda dan kerabatnya yang lain, dengan bekal secukupnya berangkatlah Ahsan dan Asmawi, sepupu cerdasnya itu menuju ke Pondok Sukunsari Pohjentrek Pasuruan. Jarak antara Sentong ke pondok tersebut 70 km. Ahsan dan Asmawi sudah tentu berjalan kaki. Di tahun 1857 itu, penjajah Belanda telah menancapkan kakinya di bumi pertiwi lebih dari dua masa lampau.
Ahsan dan Asmawi mencar ilmu dan mengabdi di pondok ini, pengasuhnya ialah seorang kiai berjulukan KH. Mohammad Tamim. Keduanya yakni santri yang tekun dan rajin di setiap acara pondok. Seperti dongeng di masa kecilnya dulu, Ahsan dan Asmawi masih saja selalu unggul atas teman-teman santri lainnya di pondok tersebut. Ahsan hafal di hari senin, Asmawi hafal di hari selasa, maka teman-temannya hafal di senin berikutnya.

Keduanya hidup sederhana di pesantren itu. Jika suatu waktu mereka mendapatkan rizki, mereka tidak pernah menghambur-hamburkan rizki itu, namun ditabung. Mereka berdua mempunyai tabungan yang disimpan di kamar; ditempatkan di atas loteng. Nyatalah suatu ketika tabungan mereka tu berguna. Suatu hari, Kiai Tamim sedang meninjau keadaan bangunan-bangunan milik pesantren. Saat itu muncullah keinginan dia untuk memperbaiki beberapa bab bangunan pondok yang rusak. Niat itupun lingkaran sesudah dipertimbangkan masak-masak. Kiai Tamim pun menghitung-hitung biaya yang diperlukan untuk perbaikan. Ternyata biaya Untuk perbaikan tersebut tidak sedikit. Sedangkan kondisi keuangan Kiai Tamim masih belum mencukupi biaya tersebut. Biayanya sekitar 10 gulden.

Mengingat biaya yang diperlukan tidak sedikit, Kiai Tamim karenanya mengutarakan niat tersebut pada para santri beliau. Dalam penyampaiannya, dia berharap kalau ada santri yang mempunyai uang sejumlah biaya tersebut, kiai hendak meminjam uang tersebut. Sang kiai pun berharap-harap cemas, namun dari sekian banyaknya santri dia tak seorang pun yang memperlihatkan tanggapan terhadap hal itu. Kiai Muhammad Tamim pun sedikit kecewa alasannya dia tahu bahwa di antara santri-santri itu ada yang berasal dari kalangan keluarga yang bisa secara ekonomi.

Di antara para santri itu, duduk pula Ahsan dan Asmawi. Setelah Kiai Tamim memberikan maksud dia dan majelis selesai, keduanya bergegas menuju kamar. Simpanan uang yang diletakkan di kamar mereka ambil tanpa dihitung terlebih dahulu. Lalu mereka berdua bergegas menghadap Kiai Tamim untuk menyerahkan semua uang simpanan itu. Setelah bertemu, keduanya pribadi menyerahkan uang simpanan tersebut kepada Kiai Tamim dengan hati ridla dan tulus tanpa mengharap kembalinya uang itu.

Kiai Tamim merasa terharu mendapatkan uang simpanan itu. Beliau kagum pada Ahsan dan Asmawi alasannya perilaku mulia itu. Keduanya hidup secara sederhana dalam kesehariannya, tapi untuk tujuan yang suci, apapun yang dimiliki diberikan meski sedikit. Kiai Tamim lantas memanjatkan do`a kepada Allah SWT untuk keduanya.

Setelah merasa cukup menuntut ilmu di Sukunsari, Ahsan dan Asmawi memberikan keinginannya kepada Kiai Tamim untuk melanjutkan menuntut ilmu pondok Bangkalan Madura. Kiai Tamim dengan besar hati dan terharu melepas dua orang santri cerdas itu berangkat ke madura. Semangat yang luar biasa besar dari dua orang cukup umur tanggung demi menuntut ilmu itu mengalahkan jarak tempuh yang luar biasa jauh. Dengan kembali berjalan kaki, kemudian menyeberangi laut, kemudian kembali berjalan kaki menuju Pondok Bangkalan Madura. Di situlah seorang ulama besar pencetak ulama besar menempa santrinya dengan ilmu pengetahuan dan wawasan kehidupan. Kurang lebih nama dia yakni KH. Mohammad Kholil. Saat itu tahun 1860/1861.

Kiai Kholil yakni kiai yang termasyhur kealimannya. Dari beliaulah banyak tampil ulama-ulama besar di pulau Madura dan Jawa. Santri-santri dia kemudian banyak yang mendirikan atau mengasuh pesantren-pesantren besar dan terkemuka. Sebagian besar ulama menyatakan bahwa Kiai Kholil yakni seorang waliyullah.
Suatu ketika Kiai Kholil mengalami kesusahan. Beliau memanggil Ahsan. Ahsan kemudian menghadap beliau, kemudian Kiai Kholil memberikan maksud tersebut, yaitu meminta pertolongan Ahsan biar ikut berdoa kepada Allah memohon fasilitas dalam menuntaskan urusan yang meresahkan Kiai Kholil. Ahsan pun lantas ikut berdoa. Keesokan harinya, kesusahan Kiai Kholil tersebut sanggup teratasi. Pertanyaan yang patut dikedepankan ialah mengapa Kiai Kholil memanggil Ahsan dan memintanya untuk ikut berdoa(?)

Selama berada di madura, selain berguru pada Kiai Kholil, Ahsan sempat berguru pada Syeikh Chotib Bangkalan dan juga KH. Jazuli Madura. Sebenarnya ada guru Ahsan yang berjulukan Syekh Nahrowi di Sepanjang Surabaya dan Syekh Maksum dari Sentong, desa kelahiran Ahsan. Sangat disayangkan tidak ada klarifikasi mengenai di mana dan kapan Ahsan berguru kepada Syekh Nahrowi. Pada tumpuan terdahulu atau di sumber pendukung lainnya hanya disebutkan bahwa Syekh Nahrowi yakni guru beliau, juga tidak ada yang bisa memastikan pernahkah Ahsan bermukim sementara di Surabaya untuk berguru pada Syekh Nahrowi. Tidak diketahui juga kapan dan di mana Ahsan berguru pada Syekh Maksum. Kaprikornus persoalannya ialah kapan dan di mana Ahsan berguru pada Syekh Nahrowi dan Syekh Maksum.

Setelah tiga tahun berada di Bangkalan, suatu ketika Asmawi ingin lebih memperdalam lagi ilmunya. Dalam hati kecilnya, Asmawi selalu bertanya-tanya mengapa Ahsan selalu lebih cepat menghafal dan menangkap pelajaran daripada dirinya. Dalam pikirannya Asmawi menganggap Ahsan lebih cerdas dan sulit dilampaui kecerdasannya oleh Asmawi. Setiap pelajaran kitab yang dipelajari, Ahsan selalu saja terlebih dahulu paham. Timbullah perasaan iri tersebut; iri pada kecerdasan seorang anak manusia. Asmawi bertekad untuk menambah ilmunya. Dia berfikir, bahwa kalau dirinya berkumpul dengan Ahsan, maka dirinya akan selalu kalah pada Ahsan. Satu-satunya cara ialah menuntut ilmu di tempatnya ilmu, sedangkan Ahsan tidak pergi ke kawasan itu alasannya masih tetap mencar ilmu di Bangkalan. Maka pastilah dirinya akan lebih bisa dan lebih arif dibanding Ahsan. Tempat tujuan itu hanya satu dan cukup terperinci di pikiran Asmawi: Makkatul Mukarromah!

Setelah segala sesuatunya selesai disiapkan, di tahun 1863 berangkatlah Asmawi sendirian menuju Makkatul Mukarromah untuk menunaikan Ibadah Haji di samping akan memperdalam ilmunya. Girang benar perasaan Asmawi. Sementara di bangkalan, Ahsan melepas keberangkatan Asmawi dengan perasaan besar hati mempunyai saudara sepupu yang haus ilmu. Namun di hati kecilnya, ketika itu muncul pula keinginan untuk menyusul saudaranya itu ke Mekkah. Namun waktu itu menyusul berangkat asmawi yakni sesuatu yang sangat sulit. Ahsan pun bermunajat pada Allah SWT memohon biar sanggup menyusul saudaranya itu.

Tidak usang sesudah Asmawi berangkat, Ahsan dipanggil pulang ke Sentong oleh sang ibunda. Setibanya di rumah, Ibunda menanyakan apakah Ahsan juga berminat untuk berangkat ke Mekkah atau meneruskan mondok. Jika hendak ke Mekkah, uang yang tersedia masih belum mencukupi biaya keberangkatan. Jika hendak ke Mekkah, maka Ahsan harus ulet mencetak genteng dan terpaksa tidak kembali ke bangkalan untuk memenuhi biaya keberangkatan. Pilihan itu memang sulit. Ahsan pun melaksanakan istikharah (mohon petunjuk) kepada Allah SWT. Dari istikharah itu, Allah memperlihatkan satu petunjuk dengan suatu kalimat yang ditampakkan pada Ahsan. Isinya yakni kalimat If`al Laa Taf`al (kerjakan dan jangan kerjakan).
Dari kode itu, Ahsan menarik suatu kesimpulan bahwa bekerja di rumah atau tetap meneruskan mondok dan tidak bekerja yakni sama saja. Berangkat ke Mekkah guna menuntut ilmu juga akan tetap terealisasi kalau Allah menghendaki. Atas kesimpulan itu, Ahsan menentukan untuk meneruskan mondok saja. Akhirnya Ahsan kembali menuju ke Bangkalan.

Setibanya di Bangkalan, Ahsan pribadi menghadap kepada Kiai Kholil untuk mengadukan hal tersebut sekaligus memohon doa kepada Kiai Kholil, supaya Allah segera mentaqdirkan keberangkatannya ke tanah suci dan terealisasi dengan mudah. Kiai Kholil pun mendo`akan niat dan impian itu. Selanjutnya Ahsan kembali melaksanakan aktifitasnya sebagai santri.
Selang beberapa waktu kemudian, ibunda kembali menyuruh Ahsan untuk pulang lagi. Setibanya di rumah, Ahsan mendapati bahwa ongkos pembiayaan ke Mekkah sudah cukup tersedia, meski hanya cukup untuk ongkos perjalanan saja. Biaya hidup selama di tengah perjalanan dan selama di Mekkah tidak termasuk dalam biaya tersebut. Namun alasannya kegigihan dan bulatnya tekad Ahsan, maka Ahsan tetap berangkat dengan biaya tersebut. Ahsan pun berpamitan pada ibundanya dan Kiai Kholil. Ahsan berangkat ke Mekkah sekitar tahun 1864.

Di Mekkah, Ahsan kembali berkumpul saudaranya, Asmawi. Asmawi gembira mendapati saudaranya juga ditakdirkan oleh Allah juga datang untuk menuntut ilmu di Mekkah sekaligus menunaikan ibadah haji. Namun hati kecilnya menyampaikan bahwa ia akan kembali kalah dalam mendapatkan ilmu pengetahuan kepada Ahsan. Asmawi yang datang lebih dulu dan telah mengetahui seluk beluk Mekkah, selang beberapa hari sesudah Ahsan datang kemudian mengajak Ahsan untuk bertamu pada salah satu temannya yang berjulukan Abdul Qohar. Setelah bertemu ternyata oleh Asmawi keduanya dipertemukan untuk bermujadalah (debat). Berlangsunglah mujadalah itu dan hasilnya semua kasus mujadalah sanggup diselesaikan dengan baik oleh Ahsan. Lawan debatnya mengakui kemampuan ilmu yang dimiliki Ahsan. Di tengah perjalanan pulang, Ahsan bertanya pada Asmawi kenapa dirinya diadu-debat. Untuk menutupi maksudnya menguji kemampuan Ahsan, Asmawi berkelit bahwa pertemuan itu hanyalah ajang musyawarah.

Asmawi semakin yakin bahwa Ahsan memang mempunyai kemampuan yang luar biasa, namun perdebatan itu masih belum cukup untuk membuktikan hal tersebut. Akhirnya Asmawi kembali mengajak Ahsan untuk bermujadalah. Kali ini dengan seorang keturunan Magrabi yang telah bermukim di Mekkah selama 40 tahun, dia seorang ulama yang alim di Mekkah. Ahsan yang memang tidak pernah berprasangka jelek pada siapapun berdasarkan saja ketika dirinya diajak bertamu pada ulama tersebut dan tidak mengetahui maksud pertemuan itu. Seperti pertemuan dengan orang sebelumnya, pertemuan itu kembali berlangsung dengan mujadalah. Pertemuan yang dimulai semenjak pagi sesudah sholat dluha itu berlangsung jam demi jam hingga berlangsung hingga waktu sholat Dluhur, dan berjamaahlah mereka bertiga. Setelah sholat, mujadalah kembali berlangsung. Setiap pertanyaan yang dialamatkan pada Ahsan secara bertubi-tubi dari ulama itu dijawab dengan baik oleh Ahsan. Dalam hatinya ulama itu mengakui kecerdasan Ahsan. Di ujung mujadalah, Ahsan hendak mengajukan pertanyaan untuk dijawab oleh sang ulama lawan debatnya, namun tak sanggup dijawab. Serta merta ulama tersebut berkata, ”Sungguh dia yakni cowok yang benar-benar ’alim!”
Pertemuan pun selesai sesudah kedua cowok jawa itu pamit pulang. Ahsan kembali bertanya pada kakandanya itu kenapa dirinya diadu-debat dengan orang lagi? Asmawi kemudian memberikan maksudnya mendebatkan Ahsan dengan beberapa orang. Ahsan kemudian meminta kakandanya itu tidak lagi mempertemukan Ahsan dengan orang-orang kalau tujuannya yakni mujadalah. Demi mendengar usul itu, Asmawi kemudian berjanji tidak akan mengulangi hal tersebut.
Ahsan kemudian berguru pada beberapa orang syekh terkemuka di Mekkah di samping pada beberapa orang ulama Indonesia yang bermukim.

Guru-guru mereka selama menuntut ilmu di Mekkah yakni KH. Mohammad Nawawi bin Umar Banten, KH. Marzuki Mataram, KH. Mukri Sundah, Sayyid Bakri bin Sayyid Mohammad Syatho Al-Misri, Habib Husain bin Muhammad bin Husain Al-Habsyi, Syekh Sa`id Al-Yamani Mekkah, dan Habib Ali bin Ali Al-Habsyi. Nama terakhir ini yakni guru Ahsan ketika sempat bermukim di Madinah.

Sejak tekun menuntut ilmu di Pondok-Pondok, kezuhudan dan kekhusyu`an telah terlihat dalam diri Ahsan. Selama di Pondok dia tak pernah makan masakan selain masakan yang diperoleh dari ibunda dia kalau berada di rumah serta masakan sumbangan guru beliau. Jika menanak nasi, Ahsan seringkali mencampurnya dengan pasir. Hal ini dilakukan biar pada ketika makan, dia bisa makan dengan pelan, alasannya di samping menyuap nasi, juga harus menyisihkan dan membuangi pasir yang bercampur dengan nasinya itu.

Sejak kecil Ahsan dan Asmawi memang mempunyai gejala bahwa keduanya mempunyai keistimewaan yang akan berkhasiat bagi masyarakat suatu ketika nanti. Kelak hal itu benar-benar terbukti, masyarakat tidak lagi memanggil dua orang itu dengan nama Ahsan dan Asmawi. Masyarakat telah mengenal dua orang tokoh dan ulama besar itu dengan nama KH. Mohammad Hasan Genggong dan KH. Rofi’i Sentong.

Selama berguru semenjak kecil hingga berada di Mekkah, Ahsan mempunyai banyak sahabat. Selain Asmawi, banyak lagi sahabat-sahabat lainnya menyerupai KH. Hasyim Asy`ari Tebuireng Jombang, KH. Nawawi Sidogiri Pasuruan, KH. Nahrowi Belindungan Bondowoso, KH. Abdul Aziz Kebonsari Kulon Probolinggo, KH. Syamsul Arifien Sukorejo Situbondo, KH. Sholeh Pesantren Banyuwangi, KH. Sa`id Poncogati Bondowoso, Kiai Abdur Rachman Gedangan Sidoarjo, Kiai Dachlan Sukunsari Pasuruan, dan Habib Alwie Besuki.

Demikian juga dengan para Habaib. Ahsan juga banyak mempunyai kedekatan menyerupai dengan Habib Hasyim Al-Habsyi Kraksaan, Habib Abdullah Al-Habsyi Palembang, Habib Sholeh bin Abdullah Al-Habsyi Pasuruan, Habib Hasan bin Umar Kraksaan, Habib Achmad bin Alwie Al-Habsyi Kraksaan, Habib Sholeh Al-Hamid Tanggul Jember, Habib Husain bin Hadi Al-Hamid Brani Maron, Habib Sholeh bin Muhammad Al-Muhdlar Bondowoso, Habib Abu Bakar Al-Muhdlar Lumajang, dan juga Habib Muhammad Al-Muhdlar Bondowoso.

KH. Mohammad Hasan wafat pada malam Kamis, jam 23.30 tanggal 11 Syawal tahun 1374 h/01 Juni 1955 m.


Wallahul Muwaffiq Ilaa Aqwamit Thoriq

Sumber http://tarekataulia.blogspot.com/

Comments