Kesempurnaan Konsep Takhalli, Tahalli Dan Tajalli

 Tasawuf yaitu salah satu diantara khazanah tradisi dan warisan keilmuan islam yang sanga Kesempurnaan Konsep Takhalli, Tahalli dan Tajalli Tasawuf yaitu salah satu diantara khazanah tradisi dan warisan keilmuan islam yang sangat berharga. Tasawuuf merupakan konsepsi pengetahuan yang menekankan spiritualitas sebagai metode tercapainya kebahagiaan dan kesempurnaan dalam hidup manusia. Esensi tasawuf bergotong-royong telah ada semenjak masa Rosulullah saw.
Pada awalnya tasawuf merupakan suatu penafsiran lebih lanjut atas tindakan dan perkataan Rosulullah saw yang sarat dengan dimensi sepiritualitas dan ketuhanan. Tasawuf tidak bisa di ketahui melalui metode-metode logis atau rasional. Pada zaman modern ini, tasawuf semakin menarik minat umat islam untuk mengamalkan fatwa tasawuf. Terutama ketika kemajuan zaman telah berdampak terhadap kekeringan jiwa manusia.
Adapun beberapa cara untuk merealisaikan dalam bertasawuf diantaranya : Takhalli (pengkosongan diri terhadap sifat-safat tercela), Tahalli (menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji) dan Tajalli (tersingkapnya tabir). Lebih jelasnya simak dalam pembasan dibawah ini .


A. TAKHALLI

Tkhalli atau penarikan diri. Sang hamba yang menginginkan dirinya bersahabat dengan Allah haruslah menarik diri dari segala sesuatu yang mengalihkan perhatiannya dari Allah. Takhalli merupakan segi filosofis terberat, lantaran terdiri dari mawas diri, pengekangan segala hawa nafsu dan mengkosongkan hati dari segala-galanya, kecuali dari diri yang dikasihi yaitu Allah SWT.
Takhalli berarti mengkosongkan atau memersihkan diri dari sifat-sifat tercela dan dari kotoran penyakit hati yang merusak. Hal ini akan sanggup dicapai dengan jalan menjauhkan diri dari kemaksiatan dengan segala bentuk dan berusaha melepaskan dorongan hawa nafsu jahat. Menurut kelompok sufi, maksiat dibagi menjadi dua : maksiat lahir dan batin. Maksiat batin yang terdapat pada insan tentulah lebih berbahaya lagi, lantaran ia tidak kelihatan tidak menyerupai maksiat lahir, dan kadang kala begitu tidak di sadari. Maksiat ini lebih sukar dihilangkan.
Perlu diketahui bahwa maksiat batin itu pula yang menjadi pencetus maksiat lahir. Selama maksiat batin itu belum bisa dihilangkan pula maksiat lahir tidak bisa di bersihkan. Maksiat lahir Adalah segala maksiat tercela yang di kerjakan oleh anggota lahir. Sedangkan maksiat batin yaitu segala sifat tercela yang dilakukan oleh anggota batin dalam hal ini yaitu hati, sehingga tidak gampang mendapatkan pancaran nur Illahi, dan tersingkaplah tabir (hijab) , yang membatasi dirinya dengan tuhan, dengan jalan sebagai berikut :

a. Menghayati segala bentuk ibadah, sehingga pelaksananya tidak sekedar apa yang terlihat secara lahiriyyah, namun lebih dari itu, memahami makna hakikinya.
b. Riyadhoh (latiahan) dan mujahadah (perjuangan) yakni berjuang dan berlatih membersihkan diri dari kekangan hawa nafsu, dan mengendalikan serta tidak menuruti cita-cita hawa nafsuny tersebut. Menurut Al-Ghozali, riyadoh dan mujahadah itu yaitu latihan dan kesungguhan dalam menyingkirkan cita-cita hawa nafsu (shahwat) yang negativ dengan mengganti sifat yang positive.
c. Mencari waktu yang tepat untuk mengubah sifat buruk dan mempunyai daya tangkal terhadap kebiasaan buruk dan menggantikanya dengan kebiasaannya yang baik.
d. Mukhasabah (koreksi) terhadap diri sendiri dan selanjutnya meninggalkn sifat-sifat yang buruk itu. Memohon pertolongan Allah dari godaan syaitan.

Jika dihubungkan pemikiran dan metode KH.Ahmad Rifa'i dengan konsep tasawuf masuk dalam kategori metode tahalli yaitu mengisi diri dari sifat-sifat yang terpuji. (mahmudah). Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Mustafa Zahri bahwa metode dan fase-fase yang harus dilalui untuk mencapai pengisian diri menuju jiwa yang sehat yaitu melalui takhalli ( membersihkan diri dari sifat-sifat tercela), tahalli (mengisi diri dengan sifat-sifat yang terpuji), dan tajalli (memperoleh kenyataan Tuhan) Penegasan Mustafa Zahri didukung pula oleh Amin Syukur yang menyatakan dalam tasawuf lewat amalan dan latihan kerohanian yang beratlah, maka hawa nafsu insan akan sanggup dikuasai sepenuhnya. Adapun sistem training dan latihan tersebut yaitu melalui jenjang takhalli, tahalli dan tajalli.
Sejalan dengan itu Hanna Djumhanna Bastaman mengemukakan empat teladan wawasan kesehatan mental dengan masing-masing orientasinya sebagai berikut: pertama, teladan wawasan yang berorientasi simtomatis, kedua, teladan wawasan yang berorientasi adaptasi diri, ketiga, teladan wawasan yang berorientasi pengembangan potensi, keempat, teladan wawasan yang berorientasi agama/kerohanian , Pemikiran Ahmad Rifa’i di atas masuk dalam kategori takhalli. Dengan demikian tampaklah bahwa zuhud, qona’ah, shabar, tawakkal hatinya, mujahadah, ridho, syukur, masuk dalam kategori kriteria jiwa atau mental yang sehat. Sedangkan cinta dunia, tamak, mengikuti hawa nafsu, ujub, riya, takabbur, hasad, sum’ah, masuk dalam kriteria jiwa atau mental yang sakit. Maka dari itu kita harus selalu berusaha menjauhkan atau mengkosongkan diri dari sifat-sifat kemkasiatan , sifat itu diantaranya :

1. Hubb al Dunya (Mencintai Dunia)
Hubb al-dunya yaitu cinta pada dunia, sedangkan secara istilah yaitu cinta pada dunia yang dianggap mulia dan tidak melihat pada darul abadi yang nantinya akan sia-sia, Perilaku ini dianggap Ahmad Rifa’i sebagai suatu perbuatan yang tercela lantaran memandang dunia lebih mulia dibanding akhirat. Ia menekankan celaan terhadap dunia yang sanggup membawa orang lupa akan akhirat. Dengan batasan ini maka ia masih memperlihatkan peluang untuk menyisihkan pada dunia selama tidak menjadikan orang lupa akan akhirat.
2. Tamak
Pengertian tamak berdasarkan Ahmad Rifa’i yaitu hati yang rakus terhadap dunia sehingga tidak memperhitungkan halal dan haram yang menimbulkan adanya dosa besar. Meskipun sifat ini dikemukakan dalam rangka takhalli, namun bergotong-royong mengandung undangan untuk membuat isolasi dengan kebudayaan kota sebagaimana ditampilkan oleh kekuasaan dan pejabat pribumi yang mengabdi untuk kepentingan pemerintah. Dalam kitabnya yang sarat dengan kritik yang ditujukan kepada masyarakat pribumi yang selalu mengabdikan pada pemerintah kolonial pada ketika itu. Yang disebut itba al- hawa’ berdasarkan Ahmad Rifa’i yaitu menuruti hawa nafsu, sedangkan secara istilah yaitu orang yang hatinya selalu mengikuti perbuatan buruk yang telah diharamkan oleh syariat. Pengertian tersebut dikemukakan dalam konteks mencela orang kafir di satu pihak dan orang munafik di satu pihak.
3. Ujub
Ujub artinya mengherankan dalam batin.Adapun makna istilah penjelasannya Yaitu memastikan kesentosaan tubuh Dari siksa darul abadi keselamatannya. Secara bahasa ‘ujub yaitu mengherankan dalam hati/batin. Sedangkan makna secara istilah yaitu memastikan kesentosaan tubuh dari keselamatan siksa akhirat. Menurutnya ‘ujub yang bergotong-royong yaitu membanggakan diri atas hasil yang telah dicapai di dalam hatinya dan dengan angan-angan merasa telah tepat baik dari segi ilmu maupun amalnya dan ketika ada seseorang tahu ihwal ilmu dan amalnya maka ia tidak akan mengembalikan semua itu pada yang kuasa yakni telah memperlihatkan nikmat tersebut, maka ia telah benar dikatakan’ujub.
5. Riya’
Yang dimaksud riya’ berdasarkan Ahmad Rifa’i yaitu memperlihatkan atas kebaikannya kepada insan biasa. Sedangkan berdasarkan istilah yaitu melaksanakan ibadah dengan sengaja dalam hatinya yang bertujuan lantaran insan (dunia) dan tidak beribadah semata-mata tertuju lantaran Allah. Dengan pengertian menyerupai ini dia membatasi riya’ sebagai penyimpangan niat ibadah selain Allah.
6. Takabur
Pengertian takabur berdasarkan Ahmad Rifa’i yaitu sombong merasa tinggi. Sedangkan berdasarkan istilah yaitu menetapkan kebaikan atas dirinya dalam sifat-sifat baik atau keluhuran yang disebabkan lantaran banyaknya harta dan kepandaian. Inti perbuatan takabur dalam pengertian tersebut yaitu merasa sombong lantaran harta dan kapandaian yang dimiliki seseorang.
7. Hasud
Jika penyakit hasud telah menyebar luas, dan setiap orang yang hasud mulai memperdaya setiap orang yang mempunyai nikmat maka pada ketika itu kebijaksanaan kancil telah menyebar luas pula dan tidak seorangpun yang selamat dari keburukannya lantaran setiap orang pembuat kebijaksanaan kancil dan diperdaya. Ahmad Rifa’i mengartikan hasud yaitu berharap akan nikmatnya yang kuasa yang ada pada orang Islam baik itu ilmu, ibadah maupun harta benda.
8. Sum’ah
Secara bahasa sum’ah yaitu memperdengarkan kepada oranglain. Sedangkan secara istilah yaitu melaksanakan ibadah dengan benar dan tulus lantaran Allah akan tetapi kemudian menuturkan kebaikannya kepada orang lain biar orang lain berbuat baik kepada dirinya. Dalam pembahasan ini dia menekankan pada jalan yang harus ditempuh bagi seseorang muslim biar selalu mengerjakan sifatsifat terpuji dan menjauhi sifat-sifat tercela yang sanggup membawanya pada kerusakan pada amaliah lahir maupun batin. Beliau mengajak kepada kita unuk berperilaku dengan benar, baik secara lahir maupun batin.

B. TAHALLI

Tahalli berarti berhias. Maksutnya yaitu membiasakan diri dengan sifat dan sikap serta pebuatan yang baik. Berusaha biar dalam setiap gerak prilaku selalu berjalan diatas ketentuan agama, baik kewajiban luar maupun kewajiban dalam atau ketaan lahir maupun batin. Ketaatan lahir maksutnya yaitu kewajiban yang bersifat formal, menyerupai sholat, puasa, zakat, haji, dan lain sebagainya. Sedangkan ketaatan batin menyerupai iman, ikhsan, dan lain sebagainya. Tahalli yaitu semedi atau meditasi yaitu secara sistematik dan metodik, meleburkan kesadaran dan pikiran untuk dipusatkan dalam perenungan kepada Tuhan, dimotivasi bahana kerinduan yang sangat dilakukan seorang sufi setelah melewati proses pencucian hati yang ternoda oleh nafsu-nafsu duniawi .
Tahalli merupakan tahap pengisian jiwa yang telah dikosongkan pada tahap takhalli. Dengan kata lain, setelah tahap pencucian diri dari segala sifat dan sikap mental yang baik sanggup dilalui, usah itu harus berlanjut terus ketahap berikutnya, yaitu tahalli. Pada perakteknya pengisian jiwa dengan sifat-sifat yang baik setelah dikosongklan dari sifat-sifat buruk, tidaklah berarti bahwa jiwa harus dikosongkan terlbeih dahulu gres kemudian di isi . Akan tetapi, ketika menghilangkan kebiasaan yang buruk, bersamaan dengan itu pula diisi dengan kebiasaan yang baik.
Pada dasarnya jiwa insan bias di latih, dikuwasai, diubah, dan dibuat seuai dengan kehendak insan itu sendiri. Dari satu latihan akan menjadi kebiasaan dan kebiasaan akan mengahasilkan kepribadian. Sikap mental dan perbuatan lahir yang sangat pentiang diisikan dalam jiwa dan dibiasakan dalam perbuatan dalam rangka pembentukan insan paripurna antara lain yaitu taubat, sabar, zuhud, twakal, cinta, makrifat, keridhoan, dan sebagainya.
Tahalli yaitu berbias dengan sifat-siaft Allah. Akan tetapi, embel-embel paling tepat dan paling murni bagi hamba yaitu berhias dengan sifat-sifat pengambaan. Penghambaan yaitu dedikasi penuh dan tepat dan sama sekali tidak menampakan gejala keTuhanan (Rabbaniyyah). Hamba yang berhias (tahalli) dengan penghambaan itu menempati kekekalan dalam dirinya sendiri dan menjadi tiada dalam pengatahuan Allah.
Tahalli juga sanggup diartiakan sebegai semedi atau mediatasi secara sistematik dan metodik, meleburkan kesadaran dan pikiran untuk dipusatkan dalam perenungan kepada Tuhan, dimotivasi bahana kerinduan yang sangat akan keindahan wajah Tuhan. Tahalli merupakan segi fraksional yang dilakukan seorang sufi setelah melewati proses pencucian hati yang ternoda oleh nafsu-nafsu duniawi. Maka dari itu ada beberapa cara untuk menghiasi diri kita untuk memdekatkan diri pada Allah diantaranya : zuhud, qona’ah, shabar, tawakkal hatinya, mujahadah, ridho, syukur, masuk dalam kategori kriteria jiwa atau mental yang sehat.

1. Zuhud
Secara harfiah zuhud yaitu bertapa di dalam dunia. Sedangkanmenurut istilah yaitu berkemas-kemas di dalam hatinya untuk mengerjakan ibadah, melaksanakan kewajiban semampunya dan menyingkir dari dunia yang haram serta menuju kepada Allah baik lahir maupun batin Dalam menjelaskan kata ini Ahmad Rifa’i lebih menekankan pada aspek pengendalian hati daripada aspek sikap yang harus ditampilkan Jika perkembangan zuhud pada fase yang paling awal ditandai dengan tindakan konkrit menjauhi kehidupan dunia sebagaimana yang diperlihatkan oleh Rabi’ah al-Adawiyah dan lainnya, maka dalam pemikiran Ahmad Rifa’i titik beratnya yaitu pada pengendalian hati supaya tidak tergantung pada harta. Oleh balasannya Ahmad Rifa’i menekankan bahwa zuhud bukan berarti tidak ada harta tetapi tidak ada ketertarikan dengan harta.
2. Qona’ah
Secara harfiah qona’ah yaitu hati yang tenang. Sedangkan berdasarkan istilah yaitu hati yang hening menentukan rihda Allah, mencari harta dunia sesuai dengan kebutuhan untuk melaksanakan kewajiban dan menjauhkan maksiat. Pengertian ini merupakan kelanjutan sikap zuhud yang tidak mau mengejar kehidupan dunia selain kebutuhan pokok Dalam menjalankan zuhud ia memperlihatkan pemfokusan qona’ah itu sebagai suatu kondisi jiwa yang bernuansa pada kegiatan batin. Hal ini sanggup dilihat lebih lanjut ketika ia mengemukakan pernyataan yang mendudukkan arti kaya pada proporsi yang lebih bersifat batini dengan ungkapannya. Dari syair KH.Ahmad Rifa'i sebagaima telah dikemukakan dalam kepingan tiga skripsi ini tersimpul pengertian bahwa kekayaan bukan hanya berisi harta tetapi rasa puas terhadap apa yang dimiliki. Atas dasar pengertian ini maka orang bisa merasa kaya meskipun secara lahiriah ia miskin
3. Sabar
Sabar secara harfiah bermakna menanggung penderitaan. Sedangkan berdasarkan istilah menanggung penderitaan yang meliputi tiga half yaitu:
a. Menanggung penderitaan lantaran menjalankan ibadah yang sesungguhnya
b. Menanggung penderitaan lantaran taubat dan berusaha menjauhkan diri dari perbuatan maksiat baik lahir maupun batin Dengan pembatasan ruang lingkup pengertian sabar yang demikian ini, ia terlihat berusaha memperlihatkan makna yang mempunyai cakupan berdasarkan pengalaman subyektif dari para sufi. Di satu pihak sabar dikaitkan dengan pelaksanaan aturan Allah sebagaimana pendapat al-Khawwas yang menyatakan bahwa sabar yaitu sikap teguh terhadap hukum-hukum dari Al-Quran dan As-Sunah. Pengertian ini sejalan dengan apa yang diberikan oleh al-Qusyairi yang menyatakan bahwa di antara majemuk sabar yaitu kesabaran terhadap perintah dan larangan-Nya. Di pihak lain sabar dikaitkan dengan tragedi alam menyerupai pendapat Abu Muhammad al-Jarir yang menyatakan bahwa sabar yaitu suatu kondisi yang tidak berbeda antara mendapat nikmat dan mendapat cobaan. Kelanjutan dari pengertian sabar berdasarkan Ahmad Rifa’i yaitu menempatkan kesabaran secara proposional khususnnya pengertian ketiga. Di sini ia menekankan bahwa kesalahan terhadap penyimpangan agama (yang mengandung unsure keharaman) tidak diharapkan lagi.
4. Tawakal
Tawakal yaitu pasrah kepada Allah terhadap seluruh pekerjaan, sedangkan secara istilah yaitu pasrah kepada seluruh yang diwajibkan Allah dan menjauhi dari segala yang haram 15
5. Mujahadah
Arti harfiah dari mujahadah ialah bersungguh-sungguh dalam melaksanakan perbuatan sedangkan secara istilah yaitu bersungguhsungguh sekuat tenaga dalam melaksanakan perintah dan menjauhi larangan, memerangi undangan hawa nafsu dan berlindung kepada Allah dari orang-orang kafir yang dilaknati 16 Dalam klarifikasi selanjutnya, Ahmad Rifa’i lebih menekankan pada aspek kesungguhan dalam memerangi hawa nafsu dengan tujuan memperoleh jalan benar serta keberuntungan.
6. Ridha
Ridha berarti dengan senang hati, sedangkan berdasarkan istilah yaitu sikap mendapatkan atas pinjaman Allah dibarengi dengan sikap mendapatkan ketentuan aturan syari’at secara tulus dan penuh ketaatan serta menjauhi dari segala macam kemaksiatan baik lahir maupun batin. Dalam dunia tasawuf, kata ridhamemiliki arti tersendiri yang terkait dengan sikap kepasrahan sikap seseorang dihadapan kekasihnya. Sikap ini merupakan wujud dari rasa cinta pada Allah yang diwjudkan dalam bentuk sikap mendapatkan apa saja yang dikehendaki olehnya tanpa memberontak. Implikasi dari pemahaman terhadap konsep ridha ini yaitu sikapnya yang mendapatkan kenyataan sebagai kelompok kecil di tengah-tengah akumulasi kekuasaan pada waktu itu. Implikasi lain terlihat pada pelaksanaan syari’at Islam yang dilakukan dengan penuh ketaatan dan penuh berhati-hati menyerupai kasus perkawinan, shalat jum’at dan lain-lain.
7. Syukur
Ahmad Rifa’i memjelaskan kata syukur yakni mengetahui akan segala nikmat Allah berupa nikmat keimanan dan ketaatan dengan jalan memuji Allah yang telah memperlihatkan sandang dan pangan. Rasa terima kasih ini kemudian ditindaklanjuti dengan berbakti kepada-Nya. Sejalan dengan pengertian di atas, bersyukur sanggup dilakukan dengan tiga cara: pertama, mengetahui nikmat Allah berupa sahnya keyakinan dan ibadah. Kedua, memuji lisannya dengan ucapan Alhamdulillah. Ketiga, melaksanakan kewajiban dan menjauhi larangan Allah. Cara bersyukur semacam ini sejalan dengan klarifikasi al-Qusyairi menyampaikan bahwa bersyukur sanggup dilakukan melalui verbal anggota tubuh dan hati. Makna lain dari pengertian syukur berdasarkan Ahmad Rifa’i yaitu adanya prioritas pada dua unsur pokok yaitu keimanan dan ketaatan serta tercukupinya sandang dan pangan. Pandangan ini mempunyai relevansinya dengan sifat terpuji lainnya menyerupai Qona’ah yang berupa ketenangan hati menentukan ridha Allah dengan cara mencari harta dunia sesuai dengan kebutuhan. Kebutuhan tersebut sebatas terpenuhinya hal-hal yang sanggup membantu ketaatan melaksanakan kewajiban dan menjauhkan diri dari kemaksiatan. Sekalipun menganjurkan sikap sederhana, tetapi tidak menganjurkan sikap fakir sebagaimana yang ada dalam tradisi sufi tradisional, Ahmad Rifa’i tidak menganjurkan untuk menganjurkan untuk menolak akan tetapi menolak ketergantungan kepada harta.
8. Ikhlas
Apa yang disebut tulus berdasarkan Ahmad Rifa’i yaitu membersihkan, sedangkan secara istilah tulus yaitu membersihkan hati untuk Allah semata sehingga dalam beribadah tidak ada maksud lain kecuali kepada Allah. Segenap amal tidak akan diterima jikalau didasarkan oleh rasa tulus ini. Untuk mewujdkan keikhlasan dalam beribadah dituntut adanya dua rukun ikhlas; pertama, hati yang hanya bertujuan taat kepada Allah dan tidak kepada selain-Nya. Kedua, amal ibadahnya disahkan oleh peraturan fikih. Dalam memperlihatkan klarifikasi mengenai kata tulus ini Ahmad Rifa’i hendak membawa dilema kepada situasi amaliah keagamaan kalangan yang mempunyai pamrih kepada selain Allah dalam setiap amal perbuatannya. Ia mengaitkan orang yang tidak tulus dalam beribadah dengan perbuatan syirik (menyekutukan Allah). Penjelasan ini mempunyai kemiripan dengan 17 tradisi tasawuf era III Hijriah ketika para tokohnya semisal Hasan Basri yang menolak gaya hidup para penguasa yang dinilai dalam jalan yang salah. Pandangan di atas ini semakin memperjelas posisi Ahmad Rifa’I sebagai tokoh agama yang cukup keras terhadap penyimpangan yang mempunyai keterkaitan dengan kekuasaan kolonial dan pembantu-pembantunya. Ia menyatakan bahwa orang-orang yang dalam ibadahnya mempunyai pamrih terhadap urusan dunia maka tidak akan selamat bahkan dimasukkan dalam kategori kafir.

C. TAJALLI

Setelah seseorang melalui dua tahap tersebut maka tahap ketiga yakni tajalli, seseorang hatinya terbebaskan dari tabir (hijab) yaitu sifat-sifat kemanusian atau memperoleh nur yang selama ini tersembunyi (Ghaib) atau fana segala selain Allah ketika nampak (tajalli) wajah-Nya.
Tajalli bermakna pecerahan atau penyngkapan. Suatu term yang berkembang di kalangan sufisme sebagai sebuah penjelamaan, perwujudan dari yang tuanggal, Sebuah pemancaran cahaya batin, penyingkapan diam-diam Allah, dan pencerahan hati hamba-hamba saleh.
Tajalli yaitu tersingkapnya tirai penyekap dai alam gaib, atau proses mendapat penerangan dari nur gaib, sebagai hasil dari suatu meditasi. Dalam sufisme, proses tersingkapnya tirai dan penerimaan nur mistik dalam hati seorang perantara disebut Al-Hal, yaitu proses pengahayatan mistik yang merupakan anugrah dari Tuhan dan diluar adidaya manusia.
Tajalli berarti Allah menyingkapkan diri-Nya kepada makhluk-Nya. Penyingkapan diri Tuhan tidak pernah berulang secara sama dan tidak pernah pula berakhir. Penyingkapan diri Tuhan itu berupa cahaya baatiniyah yang masuk ke hati. Apabila seseorang bisa melalui dua tahap tkhalli dan tajalli maka dia akan mencapai tahap yang ke tiga, yakni tajalli, yang berarti lenyap tau hilangnya hijab dari sifat kemanusiaan atau terangnya nur yang selama itu tersembunyi atau fana` segala sesuatu kecuali Allah, ketika tampak wajah Allah. Tajalli merupakan gejala yang Allah tanamkan didalam diri insan supaya Ia sanggup disaksiakan. Setiap tajalli melimpahkan cahaya demi cahaya sehingga seorang yang menerimanya akan karam dalam kebaikan. Jika terjadi perbedaan yang dijumpai dalam banyak sekali penyingkapan itu tidak mengambarkan adanya perselisihan diantara guru sufi. Masing-masing insan unik, oleh lantaran itu masing-masing tajalli juga unik. Sehingga tidak ada dua orang yang meraskan pengalaman tajalli yang sama. Tajalli melampaui kata-kata. Tajalli yaitu ketakjupan. Al-Jilli membagi tajalli menjadi empat tingkatan .

a. Tajalli Af`al, yaitu tajalli Allah pada perbuatan seseorang, artinya segala aktivitasnya itu disertai qudratn-Nya, dan ketika itu dia melihat-Nya.
b. Tajalli Asma`, yaitu lenyapanya seseorang dari dirinya dan bebasnya dari genggaman sifat-sifat kebaruan dan lepasnya dari ikatan tubuh kasarnya. Dalam tingkatan ini tidak ada yang dilihat kecuali hannya dzat Ash Shirfah (hakikat gerakan), bukan melihat asma`.
c. Tajalli sifat, yaitu menrimanya seorang hamba atas sifat-siafat ketuhanan, artinya Tuhan mengambil daerah padanya tanapa hullul dzat-Nya.
d. Tajalli Zat, yaitu apabila Allah menghendaki adanya tajalli atas hamba-Nya yang mem-fana` kan dirinya maka bertempat padanya karunia ketuhanan yang bisa berupa sifat dan bisa pula berupa zat, disitulah terjadi ketunggalan yang sempurna. Dengan fana`nya hamba maka yang baqa` hanyalah Allah. Dalam pada itu hamba tekah berada dalam situasi ma siwalah yakni dalam wujud allah semata.
Ahli tasawuf berkata bahwa tasawuf tidak lain yaitu menjalani takhalli, tahalli, dan tajalli. Jalan yang ditempuh oleh para Sufi yaitu jalan takhalli, tahalli, dan tajalli. Mengosongkan jiwa dari sifat buruk, menghiasi jiwa dengan sifat yang baik dengan tujuan untuk menyaksikan dengan penglihatan hati bahwa sesungguhnya yang kuasa itu tidak ada, hanya Allah SWT yang Ada, “Tidak ada yang kuasa (lâ ilâha) selain (illâ) Allah SWT dan Muhammad bin Abdullah yaitu hamba, utusan, dan kekasih-Nya.”
Ibnu Arabi menyatkan bahwa tajalli Tuhan ada dua bentuk, yaitu tjalli ghaib atau tajalli dzati dan tajalli shuhudi. Al-Kalabadzi membagi tajalli menjadi tiga macam , yaitu sebagai berikut :
a. Tajalli Zat, yaitu mukhasyafah (terbukanya selubung yang menutupi kerahasiaan-Nya).
b. Tajalli sifat Adz-Dzat, yaitu sepertinya sifat-siafat zat Allah sebagai sumber atau daerah cahaya.
c. Tajalli Hukma Adz-Dzat, yaitu sepertinya hokum zat-Nya yaitu hal-hal yang bekerjasama dengan darul abadi dan apa yang ada didalamnya.
Pengertian hubungan makhluk dan Khalik disebut makrifat. Di sinilah letak perjalanan itu. Kalau sudah bisa menggapainya pasti akan mencicipi tajalli. Kalau sudah bisa mencicipi tajalli akan takhalli, dan sebagainya sesuai kenaikan berzikir dalam makrifat. Tajalli itu artinya meraih kemuliaan di sisi Allah, atau keluhuran. Saat mencapai tingkatan itu, hati akan merasa sepi. Yaitu, sepi ing pamrih rame ing gawe. Namun yang sebenarnya, makna tajalli sangat luas. Ini bahasa tasawuf dalam tarekat. Kalau hati bisa meletakkan sepi selain Allah itu artinya akan menemukan satu takhalli. Yaitu satu kenikmatan, kelezatan, satu kemanisan lantaran bisa melepaskan semuanya selain Allah dan Rasul-Nya.



Sumber Artikel : https://romanacinta.blogspot.com/search?q=konsep-takhali-tahali-dan-tajjali



Sumber http://tarekataulia.blogspot.com/

Comments