Adab Menuntut Ilmu Dalam Tasawuf

 sedangkan duduk untuk saling memberi pesan yang tersirat akan membuka pintu manfaat ADAB MENUNTUT ILMU DALAM TASAWUF
Syaikh Abu Nashr as-Sarraj berkata, "Saya mendengar Ahmad bin Ali al-Wajihi berkata, saya mendengar Abu Muhammad al-Jariri berkata, “Duduk untuk bermudzakaroh (belajar ilmu) akan menutup pintu manfaat, sedangkan duduk untuk saling memberi pesan yang tersirat akan membuka pintu manfaat.”

Syaikh Abu Yazid berkata, “Barangsiapa tidak bisa mengambil manfaat dari diamnya orang yang berbicara, maka ia tidak akan bisa mengambil manfaat dari pembicaraannya.”

Syaikh Junaid al-Baghdadi berkata, “Mereka (kaum Sufi) sangat tidak suka bila verbal melampaui keyakinan hati.”

Disebutkan bahwa Abu Muhammad al-Jariri berkata, “Keadilan dan budbahasa ialah hendaknya orang yang mulia tidak membicarakan ilmu ini (tasawuf, sehingga ia ditanya).” Abu Ja’far al-Faraji, sahabat karib Abu Turab an-Nakhsyabi berkata, “Aku tinggal membisu selama dua puluh tahun tidak bertanya suatu dilema kecuali bila saya mantapkan terlebih dahulu sebelum saya menyatakan dengan lisanku.”


Abu Hafsh berkata, “Tidak dibenarkan berbicara kecuali bagi seseorang yang apabila ia membisu malah mendapat siksa.”

la juga berkata, "Ada seseorang tiba pada Abu Abdillah Ahmad bin Yahya al-Jalla’ yang menanyakan perihal kasus tawakal. Saat itu ada sekelompok orang (jama'ah), maka ia tidak menjawabnya dan masuk ke dalam kamarnya, kemudian ia keluar lagi dengan membawa seikat kain yang berisi empat dananiq (mata uang) yang diberikan kepada mereka. Kemudian ia berkata kepada mereka, "Dengan uang ini silakan kalian membeli sesuatu." Kemudian ia gres mau menjawab apa yang ditanyakan orang tersebut. Kemudian ia ditanya, "Mengapa ia melaksanakan hal itu?" Maka ia menjawab, "aku malu pada Allah untuk menjawab kasus tawakal sedangkan saya masih mempunyai empat dananiq.”

Dikisahkan dari Abu Abdillah al-Hushri yang berkata: Saya pernah berkata kepada Ibnu Yazdaniar ketika ia sedang mencari ilmu, "Aku tidak melihat apa yang ada pada semua makhluk kecuali kabar perihal ghaib dan sangat mungkin anda ialah yang gaib.” Kemudian ia berkata, “Coba ulangi apa yang anda katakan.” Lalu saya menjawabnya, “Saya tidak akan mengulanginya.”

Ibrahim al-Khawwash berkata, “Ilmu ini tidak layak kecuali bagi mereka yang bisa mengungkapkan wajd (suka cita ruhani)nya dan berbicara perihal perbuatannya.”

Abu Ja’far ash-Shaidalani berkata: Ada seseorang bertanya suatu kasus kepada Abu Sa'id al-Kharraz. la hanya memberi arahan perihal kasus yang ditanyakan. Abu Sa'id kemudian berkata, “Kami telah mencapai kedudukan anda dan setuju dengan apa yang Anda inginkan tanpa harus dengan arahan dari Anda. Sebab orang yang banyak memberi arahan pada Allah ialah orang yang paling jauh dari-Nya.”

Syaikh Junaid al-Baghdadi berkata, “Andaikan saya tahu, bahwa di kolong langit ini ada ilmu yang lebih mulia daripada ilmu kami ini (tasawuf), pasti saya akan berusaha mencarinya dan menemui orang yang memilikinya, sehingga saya mendengar dari mereka perihal ilmu tersebut. Dan andaikan saya tahu, bahwa ada waktu yang lebih mulia daripada waktu kami ini ketika berkumpul dengan para sahabat dan guru kami, dan ketika kami menanyakan banyak sekali kasus dan mencari ilmu ini, tentu saya akan bangun mencarinya.”

Syaikh Junaid al-Baghdadi berkata, “Bagiku tidak ada kelompok insan dan kaum yang berkumpul untuk mencari ilmu yang lebih mulia dari kelompok ini.
Tidak pula ada ilmu yang lebih mulia dari ilmu mereka. Andaikan tidak demikian, maka saya tak mungkin duduk dan berteman dengan mereka. Namun alasannya ialah mereka dalam pandanganku ialah menyerupai apa yang saya ucapkan maka saya lakukan semua itu.”

Abu Ali ar-Rudzabari berkata, “Ilmu kami ini ialah ilmu isyarat. Apabila menjadi suatu ungkapan maka akan ringan bobotnya.”

Abu Said al-Kharraz berkata, “Aku diberi tahu perihal Abu Hatim al-Aththar dan keutamaannya, dimana ia tinggal di Basrah. Kemudian dari Mesir, saya berangkat menuju Basrah. Sampai di sana kemudian saya masuk masjid Jami' Basrah. Ternyata ia duduk di masjid ini, yang di sekelilingnya banyak orang dari sahabat-sahabatnya. la berbicara kepada mereka perihal ilmu. Pertama kali yang saya dengar dari pembicaraannya sesudah ia melihatku ialah, saya duduk hanya untuk seseorang. Lalu di mana seseorang tersebut? Dan siapa untukku dengan seseorang tersebut? Kemudian ia memberi arahan padaku, "Orang tersebut ialah Anda." Kemudian ia berkata, "Menampakkan apa yang menjadikan mereka ahli, membantu mereka apa yang diwajibkan kepada mereka, menjadikan ghaib apa yang dihadirkan pada mereka. Maka hanya untuk-Nya mereka berbuat, dari-Nya dan kepada-Nya mereka kembali’.”

Dikisahkan dari Syaikh Junaid al-Baghdadi yang mengatakan, “Andaikan ilmu kami ini dibuang ke daerah sampah, maka setiap orang hanya akan mengambil sesuai dengan ukurannya.”

Dikisahkan dari asy-Syibli, pada suatu hari ia pernah berkata kepada anggota majelisnya, “Kalian ialah leontin dari kalung, dimana mimbar-mimbar dari cahaya dipasang untuk kalian dan para malaikat merasa senang dengan kalian.” Kemudian ada seseorang bertanya kepadanya, “Apa yang menjadikan para malaikat merasa bahagia?” la menjawab, “Karena mereka berbicara perihal ilmu ini (tasawuf).”

Saya mendengar Ja'far al-Khuldi berkata: Saya mendengar al-Junaid berkata:
Sari as-Saqathi pernah berkata, “Sebagaimana yang saya dengar, bahwa ada sekelompok orang di masjid Jami' yang duduk di sekeliling Anda.” Saya jawab, “Ya, benar! Mereka ialah saudara-saudara kami, dimana kami saling
ber-mudzakarah (belajar) ilmu. Masing-masing di antara kami saling mengambil manfaat antara yang satu dengan yang lain.” Kemudian ia berkata, “Alangkah jauhnya wahai Abu al-Qasim (nama panggilan al-Junaid), saya kini telah menjadi daerah bagi para penganggur.”

Dikisahkan dari Syaikh Junaid al-Baghdadi yang mengatakan, “Jika Sari as-Saqathi ingin mengajariku sesuatu maka ia menanyakan suatu masalah. Suatu hari ia pernah bertanya, "Wahai anak muda, apa syukur itu?" Maka saya menjawabnya, "Syukur ialah anda tidak bermaksiat kepada Allah atas segala nikmat yang diberikan kepada anda." Akhirnya ia menganggap baik atas jawabanku. la memintaku untuk mengulang jawabanku perihal syukur sembari berkata, "Bagaimana jawabanmu perihal syukur? Coba ulangi jawabanmu!" Aku kemudian mengulanginya.”

Syaikh Abu Nashr as-Sarraj berkata: Aku dapatkan kisah ini lewat goresan pena Abu Ali ar-Rudzabari dari Syaikh Junaid al-Baghdadi. Diceritakan dari Sahl bin Abdullah bahwa ia pernah ditanya perihal masalah-masalah ilmu (tasawuf). Namun ia tidak mau menjawabnya. Setelah beberapa waktu, ia berbicara perihal ilmu tersebut dan tampak sangat menguasai dengan balk. Kemudian ia ditanya perihal alasan, mengapa waktu itu ia tidak mau berbicara perihal ilmu tersebut. Lalu ia menjawab, “Pada ketika itu Dzun Nun masih hidup, sehingga saya sangat tidak suka bicara perihal ilmu ini (tasawuf) ketika ia masih hidup. Karena saya sangat menghormatinya.”

Abu Sulaiman ad-Darani berkata, “Andaikan di Mekkah ini saya tahu ada seseorang yang bisa memberiku ilmu ma'rifat sekalipun hanya satu kata, pasti saya akan mendatanginya dengan berjalan kaki, sekalipun jarak yang harus ditempuh seribu farsah, sehingga saya bisa medengar eksklusif darinya.”
Abu Bakar az-Zaqqaq berkata, "Aku mendengar satu kalimat dari Syaikh Junaid al-Baghdadi perihal fana’ semenjak empat puluh tahun yang lalu, dimana kalimat tersebut selalu membangkitkanku, sedangkan saya sesudah itu dalam ketidaktahuan.”

Saya mendengar ad-Duqqi berkata: Saya mendengar kisah ini dari az-Zaqqaq.
Saya mendengar ad-Duqqi berkata: Dikatakan kepada Abu Abdillah al-Jalla’, “Mengapa ayah anda disebut dengan al-Jalla’?” la menjawab, “Bukan alasannya ialah kata al-Jalla’ ini mengandung arti pembersih karat besi, akan tetapi kalau ia berbicara kepada hati nurani akan memperlihatkan karat bekas dosa-dosa yang dilakukan.”

Al-Harits al-Muhasibi berkata, “Sesuatu yang paling mulia di dunia ini ialah orang alim yang mengamalkan ilmunya dan orang arif yang berbicara perihal hakikatnya.”

Saya mendengar Ibnu ‘Ulwan berkata, “Jika ada seorang bertanya kepada Syaikh Junaid al-Baghdadi perihal suatu masalah, sedangkan ia tidak termasuk dalam kondisi spiritual dari kasus yang ditanyakannya, maka ia akan berkata: "Tidak ada daya upaya dan kekuatan apa pun kecuali dengan Allah."
Dan kalau orang itu mengulangi lagi pertanyaannya maka ia akan menjawabnya:
"Cukuplah Allah penolong kami dan Dialah sebaik-baik Dzat Yang menjadi Wakil’.” (QS. Ali Imran: 173).

Dikisahkan bahwa Abu Amr az-Zujajii berkata, “Jika anda sedang duduk mendengar seorang syaikh berbicara perihal suatu ilmu, sementara anda mau kencing dan hampir tidak bisa ditahan, maka andaikan anda kencing di daerah anda duduk, akan lebih baik daripada anda bangun dari daerah duduk anda untuk meninggalkan majelis. Sebab kencing masih bisa dicuci dengan air sedangkan apa yang terlewatkan dari ilmu yang ia ajarkan tak mungkin anda memperoleh kembali untuk selamanya.”

Syaikh Junaid al-Baghdadi berkata: Saya pernah berkata kepada Ibnu al-Kurraini, “Jika ada seseorang yang berbicara perihal suatu ilmu yang ia sendiri tidak bisa mengamalkannya. Maka yang lebih anda sukai, kalau kondisinya demikian, membisu ataukah berbicara?” Kemudian ia menundukkan kepala, dan kemudian mengangkatnya kembali sembari berkata, “Jika Anda ahlinya maka bicaralah!”

Asy-Syibli berkata, “Bagaimana pendapat Anda perihal suatu ilmu, yaitu ilmu para ulama yang menjadikan dugaan?”

Sementara itu Sari as-Saqathi berkata, “Barangsiapa menghiasi dirinya dengan ilmu, maka kebaikannya ialah kejelekan.”

Syaikh Abu Nashr as-Sarraj berkata, "Dari masing-masing kisah ini mempunyai keterangan dan kesimpulan yang cukup terang bagi mereka yang mampu memahaminya."


SUMBER : https://romanacinta.blogspot.com/search?q=adab-mencari-ilmu-tasawuf

Sumber http://tarekataulia.blogspot.com/

Comments