Hakikat Watak Dalam Tasawuf

 tidak berpaling dari  yang dilihatnya itu dan tidak  Hakikat Adab dalam Tasawuf
Allah SWT berfirman:
 مَا زَاغَ الْبَصَرُ وَمَا طَغَىٰ
 "Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. (QS. An-Najm: 17).

Dikatakan bahwa ayat ini berarti, "Nabi melakukan adat di hadirat Allah." Allah SWT berfirman:

 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ 
"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang materi bakarnya yakni insan dan batu." (QS. At-Tahrim: 6).

Mengomentari ayat ini, Ibnu Abbas mengatakan, "Didiklah dan ajarilah mereka adab."

Diriwayatkan oleh Aisyah ra bahwa Nabi Muhammad Saw telah bersabda, "Hak seorang anak atas bapaknya yakni si bapak hendaknya memberinya nama yang baik, memberinya susu yang murni dan banyak, serta mendidiknya dalam adat dan akhlak."

Sa’id bin al-Musayyab berkata, "Barangsiapa yang tidak mengetahul hak-hak Allah SWT atas dirinya dan tidak pula mengetahui dengan baik perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya, berarti tersingkir dari adab."

Nabi Muhammad Saw bersabda: "Sesungguhnya Allah telah mendidikku dalam adat dan mendidikku dengan sangat baik. " (HR. Baihaqi)


Esensi adat yakni campuran dari semua sopan santun yang baik. Kaprikornus orang yang beradab yakni orang yang pada dirinya tergabung sikap kebaikan, dari sini muncul istilah ma’dubah yang berarti berkumpul untuk makan-makan.

Syaikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata, "Seorang hamba akan mencapai nirwana dengan mematuhi Allah SWT. Dan akan mencapai Allah SWT dengan adat menaati-Nya." Beliau juga mengatakan,"Aku melihat seseorang yang mau menggerakkan tangannya untuk menggaruk hidungnya dalam shalat, namun tangannya terhenti." Jelas bahwa yang Beliau maksudkan yakni diri Beliau sendiri.

Syaikh Abu Ali ad-Daqqaq tak pernah bersandar pada apa pun bila sedang duduk. Pada suatu hari ia sedang berada dalam suatu kumpulan, dan saya ingin menempatkan sebuah bantal di belakang Beliau, alasannya saya melihat Beliau tidak punya sandaran. Setelah saya meletakkan bantal itu di belakangnya, Beliau kemudian bergerak sedikit untuk menjauhi bantal itu. Saya mengira Beliau tidak menyukai bantal itu lantaran tidak dibungkus sarung bantal.

Tetapi Beliau kemudian menjelaskan, "Aku tidak menginginkan sandaran." Setelah itu saya merenung, ternyata Beliau memang tidak pernah mau bersandar pada apa pun.

Al-Jalajili al-Bashri berkomentar, "Tauhid menuntut keimanan, jadi orang yang tak punya iktikad tidak bertauhid."

Iman menuntut syari'at, jadi orang yang tidak mematuhi syari'at berarti tak punya iman, dan tauhid. Mematuhi syari'at menuntut adab, jadi orang yang tak mempunyai adat tidak mematuhi syari'at, tidak mempunyai iktikad dan tauhid."

Ibnu Atha’ berkata, "Adab berarti terpaku dengan hal-hal yang terpuji." Seseorang bertanya, "Apa artinya itu?" Dia menjawab, "Maksudku engkau harus mempraktikkan adat kepada Allah SWT baik secara lahir dan batin. Jika engkau berperilaku demikian, engkau mempunyai adab, sekalipun bicaramu tidak menyerupai bicaranya orang Arab." Kemudian dia membacakan Syair : Bila berkata, ia ungkapkan dengan manisnya. Jika diam, duhai cantiknya.

Abdullah al-Jurairi menuturkan, "Selama dua puluh tahun dalam khalwatku, belum pernah saya melonjorkan kaki satu kali pun ketika duduk, melakukan adat pada Allah SWT yakni lebih utama."

Syaikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan, "Orang yang bersekutu dengan raja-raja tanpa adab, ketololannya akan menjerumuskan pada kematian."

Diriwayatkan ketika Ibnu Sirin ditanya, "Adab mana yang lebih mendekatkan kepada Allah SWT?" Dia menjawab, "Ma’rifat mengenal Ketuhanan-Nya, berinfak lantaran patuh kepada-Nya, dan bersyukur kepada-Nya atas kesejahteraan dari-Nya, serta bersabar dalam menjalani penderitaan."

Yahya bin Mu’adz berkata, "Jika, seorang ‘arif meninggalkan adat di hadapan Yang Dima’rifati, pasti dia akan binasa bersama mereka yang binasa."

Syaikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan, "Meninggalkan adat mengakibatkan pengusiran. Orang yang berperilaku buruk di pelataran akan dikirim kembali ke pintu gerbang. Orang yang berperilaku buruk di pintu gerbang akan dikirim untuk menjaga binatang."

Ditanyakan kepada Hasan al-Bashri, "Begitu banyak yang telah dikatakan perihal banyak sekali ilmu sehubungan dengan adab. Yang mana diantaranya yang paling bermanfaat di dunia dan paling efektif untuk akhirat?" Dia menjawab, "Memahami agama, zuhud di dunia, dan mengetahui apa kewajiban-kewajiban terhadap Allah SWT."

Yahya bin Mu’adz berkata, "Orang yang mengetahui dengan baik adat terhadap Allah SWT akan menjadi salah seorang yang dicintal Allah SWT."

Sahl bin Abdullah mengatakan, "Para Sufi yakni mereka yang meminta derma Allah SWT dalam melakukan perintah-perintah-Nya dan yang senantiasa memelihara adat terhadap-Nya."

Ibnul Mubarak berkata, "Kita lebih membutuhkan sedikit adat daripada banyak pengetahuan. " Dia juga mengatakan, "Kita mencari ilmu perihal adat sesudah orang-orang yang beradab meninggalkan kita."

Dikatakan, "Tiga kasus yang tidak akan menciptakan orang merasa asing":
1. menghindari orang yang berakhlak buruk.
2. memperlihatkan adat dan
3. mencegah tindakan yang menyakitkan."

Syaikh Abu Abdullah al-Maghribi membacakan syair berikut ini perihal adab: Orang abnormal tak terasing bila dihiasi tiga pekerti; menjalankan adab, diantaranya, dan kedua berbudi baik dan ketiga menjauhi orang-orang yang berakhlak buruk.

Ketika Abu Hafs tiba di Baghdad, al-Junaid berkata kepadanya, "Engkau telah mengajar murid-muridmu untuk berperilaku menyerupai raja-raja!" Abu Hafs menjawab, "Memperlihatkan adat yang baik dalam lahiriahnya, merupakan ragam dari adat yang baik dalam batinnya."

Abdullah ibnul Mubarak berkata, "Melaksanakan adat bagi seorang ‘arif yakni menyerupai halnya tobatnya pemula."

Manshur bin Khalaf al-Maghribi menuturkan, "Seseorang menyampaikan kepada seorang Sufi, alangkah jeleknya adabmu!’ Sang Sufi menjawab, "Aku tidak mempunyai adat buruk." Orang itu bertanya, "Siapa yang mengajarmu adab?" Si Sufi menjawab, "Para Sufi."

Abu an-Nashr as-Sarraj mengatakan, "Manusia terbagi tiga kategori dalam hal adab:
  1. Manusia duniawi, yang cenderung memprioritaskan adabnya dalam hal kefasihan bahasa Arab dan sastra, menghafalkan ilmu-ilmu pengetahuan, nama-nama kerajaan, serta syair-syair Arab; 
  2. Manusia religius, yang memprioritaskan dalam olah jiwa, mendidik fisik, menjaga batas-batas yang ditetapkan Allah, dan meninggalkan hawa nafsu;
  3. Kaum terpilih (ahlul khushushiyah), yang berkepedulian pada pencucian hati, menjaga rahasia, setia kepada janji, berpegang pada kekinian, menghentikan perhatian kepada bisikan-bisikan sesat, dan menjalankan adat pada saat-saat memohon, dan dalam tahapan-tahapan kehadiran dan taqarrub dengan-Nya."
Diriwayatkan bahwa Sahl bin Abdullah mengatakan, "Orang yang menundukkan jiwanya dengan adat berarti telah menyembah Allah dengan tulus."

Dikatakan, "Kesempurnaan adat tidak bisa dicapai kecuali oleh para Nabi - semoga Allah melimpahkan salam kepada mereka - dan penegak kebenaran (shiddiqin)."

Abdullah ibnul Mubarak menegaskan, "Orang berbeda pendapat mengenai apa yang disebut adab. Menurut kami, adat yakni mengenal diri."

Dulaf asy-Syibli berkata, "Ketidakmampuan menahan diri dalam berbicara dengan Allah SWT berarti meninggalkan adab."

Dzun Nun al-Mishri berkomentar, "Adab seorang ‘arif melampaui adat siapa pun. Sebab Allah Yang dima’rifati, Dialah yang mendidik hatinya. "

Salah seorang Sufi mengatakan, "Allah SWT berfirman: "Barangsiapa yang Aku niscayakan tegak bersama Asma dan Sifat-Ku, maka Aku niscayakan adat padanya. Dan siapa yang Kubuka padanya, jauh dari hakikat Dzat-Ku, maka Aku niscayakan kebinasaan padanya." Pilihah, mana yang engkau sukai: adat atau kebinasaan."

Suatu hari Ibnu Atha’ yang menjulurkan kakinya ketika sedang berada bersama murid-muridnya, berkata, "Meninggalkan adat di tengah-tengah kaum yang mempunyai adat yakni tindakan yang beradab. " Statemen ini didukung oleh hadits yang menceritakan Nabi Muhammad Saw sedang berada bersama Abu Bakar ra dan Umar ra. Tiba-tiba Utsman ra tiba menjenguk Beliau. Nabi Muhammad Saw menutupi paha Beliau dan bersabda, "Tidakkah saya malu di hadapan orang yang malaikat pun malu di hadapannya?"

Dengan ucapannya itu Nabi Muhammad Saw memperlihatkan bahwa betapapun Beliau menghargai keadaan Utsman ra, namun keakraban antara Beliau dengan Abu Bakar ra dan Umar ra lebih Beliau hargai. Mendekati makna konteks ini, para Sufi bersyair berikut:
Padaku penuh santun nan ramah, maka, bila berhadapan dengan mereka yang mempunyai kesetiaan dan kehormatan, kubiarkan saya mengalir saya berbicara apa adanya tanpa malu-malu.

Al-Junaid menyatakan, "Manakala cinta sang pecinta telah benar, ketentuan-ketentuan mengenai adat telah gugur."

Abu Utsman al-Hiri mengatakan, "Manakala cinta telah menghujam sang pecinta, adab, akan menjadi keniscayaannya."

Ahmad an-Nuri menegaskan, "Barangsiapa tidak menjalankan adat di ketika kini, maka sang waktunya akan dendam padanya.

Dzun Nun al-Mishri berkata, "Jika seorang pemula dalam jalan Sufi berpaling dari adab, maka dia akan dikembalikan ke daerah asalnya."

Mengenai ayat: "Dan (ingatlah kisah) Ayub ketika ia menyeru kepada Tuhannya, ‘(Ya Tuhanku), bahwasanya saya telah ditimpa penyakit dan Engkau yakni Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua yang penyayang " (QS. Al-Anbiya’: 83).

Syaikh Abu Ali ad-Daqqaq memperlihatkan penjelasan, "Ayub tidak mengatakan, "Kasihanilah aku!" (irhamny), semata lantaran beradab dalam berbicara kepada Tuhan."

Begitu juga Nabi Isa as. mengatakan: "Jika Engkau menyiksa mereka, maka bahwasanya mereka yakni hamba-hamba-Mu." (QS. Al-Maidah: 118).

"Seandainya saya pernah mengatakannya maka tentulah Engkau telah mengetahuinya." (QS. Al-Maidah: 116).

Komentar Syaikh ad-Daqqaq, "Nabi Isa as mengucapkan, "Aku tidak menyatakan" (lam aqul), semata lantaran menjaga adat di hadapan Tuhannya."

Al-Junaid menuturkan, "Pada hari jum’at di antara orang-orang salihin tiba kepadaku, dan meminta, "Kirimlah salah seorang fakir kepadaku untuk memperlihatkan kebahagiaan kepadaku dengan makan bersamaku.""

Aku pun kemudian melihat ke sekitarku, dan kulihat seorang fakir yang kelihatan lapar. Kupanggil dia dan kukatakan kepadanya, "Pergilah bersama syaikh ini dan berilah kebahagiaan kepadanya." Tak usang kemudian orang itu kembali kepadaku dan berkata, "Wahai Abul Qasim, si fakir itu, hanya makan sesuap saja dan pergi meninggalkan aku!" Aku menjawab, "Barangkali Anda menyampaikan sesuatu yang tak berkenan pada benaknya."

Dia menjawab, "Aku tidak menyampaikan apa-apa." Aku pun menoleh, tiba-tiba si fikir duduk di dekat kami dan saya bertanya kepadanya, "Mengapa engkau tidak memenuhi kegembiraannya?" Dia menjawab, "Wahai Syaikh, saya meninggalkan Kufah dan pergi ke Baghdad tanpa makan sesuatu pun. Saya tidak ingin kelihatan tak sopan di hadapan Anda lantaran kemiskinan saya, tetapi ketika Anda memanggil saya, saya bangga lantaran Anda mengetahui kebutuhan saya sebelum saya menyampaikan apa-apa. Saya pun pergi bersamanya, sambil mendoakan kebahagiaan nirwana baginya. Ketika saya duduk di meja makannya, dia menyuguhkan masakan dan berkata, "Makanlah ini, lantaran saya menyukainya lebih dari uang sepuluh ribu dirham." Ketika saya mendengar ucapannya itu, tahulah saya bahwa cita rasanya rendah sekali. Karenanya, saya tak suka makan makanannya."

Aku menjawab, "Tidakkah saya telah menyampaikan kepadamu bahwa engkau bertindak tak beradab dengan tidak membiarkannya bahagia?" Dia berkata, "Wahai Abul Qasim, saya bertobat!"

Maka saya pun kemudian menyuruhnya kembali kepada orang saleh itu dan menggembirakan hatinya.

* Syaikh Abul Qosim Al-Qusyairi

 Sumber : https://romanacinta.blogspot.com/search?q=hakikat-adab-dalam-tasawuf

Sumber http://tarekataulia.blogspot.com/

Comments