Silsilah ( Sanad ) Talqin Dzikir Kaum Sufi ( Tarekat )

Syeikh Abdul Wahab Asy-Sya’rani

Adapun klarifikasi wacana sanad (silsilah) kaum sufi dalam mendikte dan membimbing secara mulut
(talqin) kalimat Tauhid: La Ilaha IllaLlahu (Tidak ada Tuhan yang haq selain Allah) kepada para murid (para pemula yang ingin mencari tarekat) ialah sebagaimana yang diriwayatkan berikut ini: Bahwa Rasulullah Saw. pernah mendikte dan membimbing para Sahabatnya secara mulut akan kalimat Tauhid, La Ilaha IllaLlahu (Tidak ada Tuhan yang haq selain Allah) secara berjamaah dan individu. Dimana silsilah sanad mereka bersambung dan masing-masing kepada jamaah kaum yang dibimbing.

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, al-Bazzar, ath-Thabrani dan lain-lain dengan sanad yang baik (hasan),
dari Sadad bin Aus dan dibenarkan oleh Ubadah bin Shamit, yang menceritakan: Suatu hari kami pernah berkumpul bersama Rasulullah Saw, kemudian dia bertanya, ‘Apakah diantara kalian terda pat orang luar (gharib) [yakni, ahlul-kitab]?”. Lalu kami (para Sahabat) menjawab, “Tidak, wahai Rasulullah!” Kemudian Rasulullah memerintahkan untuk menutup pintu dan berkata, ‘Angkatlah tangan kalian dan ucapkan: “La Ilaaha Illallah” (Tidak ada Tuhan yang haq selain Allah).” Sadad bin Aus berkata: Kemudian kami mengangkat tangan kami sesaat dan mengucapkan kalimat, “La Ilaha IllaLlahu” (Tidak ada Tuhan yang haq selain Allah). “Lalu Rasulullah meletakkan tangannya sembari berdoa:

“Segala puji hanya milik Allah, ya Allah, bahwasanya Engkau telah mengutusku dengan membawa Kalimat ini, Engkau memerintahku dengan Kalimat ini, Engkau telah menjanjikanku nirwana atas Kalimat ini, dan bahwasanya Engkau tidak akan mengingkari janji.“

Kemudian Rasulullah Saw. berkata kepada para Sahabat, “Apakah kalian tidak senang, bahwasanya Allah telah mengampuni kalian ?”

Ini ialah dalil bagi para guru tarekat dalam men-talqin dzikir kepada para jamaah secara bersamaan. Adapun dalil mereka dalam men-talqin dzikir secara sendiri-sendiri, maka saya tidak mendapatkannya dalam kitab-kitab para andal hadis yang sempat saya telaah, akan tetapi Tuan Guru Yusuf al-Ajami, seorang guru silsilah telah meriwayatkan dalam risalahnya dengan sanad yang mutashil (sambung) hingga kepada Ali bin Abu Thalib r.a. yang mengatakan: Aku pernah meminta kepada Rasulullah Saw, “Tunjukkan saya jalan (cara) yang lebih bersahabat kepada Allah Azza wa-Jalla dan paling gampang untuk dilakukan oleh para hamba serta paling utama di sisi Allah Swt.” Maka Rasulullah Saw. berkata, “Wahai Ali, engkau harus melanggengkan dzikir kepada Allah Azza wa-Jalla, baik secara sirri (rahasia) atau keras (terang-terangan).” Lalu saya menyahut, “Semua orang sanggup berdzikir, wahai Rasulullah! Akan tetapi yang kuinginkan ialah engkau mau mengkhususkan sesuatu untukku.” Maka Rasulullah Saw bersabda:

“Jangan, wahai Ali, sebaik-baik apa yang saya dan para nabi terdahulu ucapkan ialah kalimat, ‘La Ilaha IllaLlah.’ Dan andaikan tujuh langit dan tujuh bumi berada pada piringan neraca [yang satu] sedangkan kalimat ‘La Ilaha IllaLlah’ berada di piringan neraca [yang lain], tentu kalimat ‘La Ilaha IllaLlah’ akan tetap mengungguli (lebih berat).”

Untuk menguatkan Hadis ini ialah Hadis yang diriwayatkan Ibnu Hibban, al-Hakim dan lain-lain dengan Hadis Maifu’ (sampai kepada Rasulullah Saw): Bahwa Musa a.s. pernah berkata kepada Tuhannya, “Ya Tuhan, ajari saya sesuatu, yang dengan sesuatu itu saya sanggup mengingat-Mu dan berdoa kepada-Mu.” Kemudian Allah menjawab, “Wahai Musa, ucapkan, ‘La Ilaha IllaLlah’ (Tiada Tuhan selain Allah).” Lalu Musa berkata, “Wahai Tuhan, seluruh hamba-Mu telah mengucapkan kalimat ini,” Allah menjawabnya, “Ucapkan, ‘La Ilaha IllaLlah’ (Tiada Tuhan selain Allah).” Musa balik berkata, “Ya Tuhanku, saya ingin sesuatu yang Engkau khususkan untukku. “ Allah menjawab, “Wahai Musa, andaikan tujuh langit dan tujuh bumi berada pada piringan neraca [yang satu] sedangkan kalimat ‘La Ilaha IllaLlah’ berada di piringan neraca [yang lain], tentu kalimat ‘La Ilaha IllaLlah’ akan miring (lebih berat).”

Hadis ini ialah sebanding dengan apa yang ditanyakan Ali r.a. kepada Rasulullah Saw. Dan dalam Hadis lain diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. pernah berkata kepada Ali r.a., “Wahai Ali, Kiamat tidak akan segera terjadi sementara di muka bumi ini masih ada orang yang mengucapkan, Allah’.”

Tuan Guru Yusuf al-Ajami mengatakan: Kemudian Ali r.a. meminta kepada Rasulullah Saw. untuk membimbing dzikir secara mulut (talqin) sembari berkata: “Bagaimana saya berdzikir?” Maka Rasulullah Saw. berkata, “Pejamkan kedua matamu dan dengarkan dariku tiga kali, kemudian kau ucapkan, La Ilaha IllaLlah (Tidak ada Tuhan selain Allah) tiga kali, sementara saya mendengarkanmu.” Kemudian Rasulullah Saw. mengucapkan: La Ilaha IllaLlah (Tidak ada Tuhan selain Allah) sebanyak tiga kali dengan memejamkan kedua matanya dan mengeraskan suaranya, sementara Ali mendengarkannya. Lalu Ali r.a. menirukannya dengan mengucapkan La Ilaha IllaLlah (Tidak ada Tuhan selain Allah) sebanyak tiga kali dengan memejamkan kedua matanya dan mengeraskan suaranya, sementara Nabi Saw. mendengarkannya.

Saya tidak menemukan dalil dan landasan wacana cara yang diajarkan Rasulullah Saw. kepadaAli r.a. ini. Sementara hanya Allah yang Mahatahu.

Tuan Guru Yusuf al-Jami —rahimahullah— mengatakan: Rasulullah Saw. memerintahkan para Sahabat untuk menutup pintu ketika dia hendak membimbing dzikir secara mulut kepada para Sahabatnya dengan lebih dahulu bertanya, ‘Apakah diantara kalian terdapat orang luar (gharib) [yakni, ahlul-kitab]?”—sebagaimana Hadis di muka— ialah untuk mengingatkan bahwa tarekat kaum sufi dibangun atas dasar ketertutupan. ini berbeda dengan Syariat suci. Sehingga seorang pengikut tarekat kaum sufi tidak diperkenankan membicarakan hakikat di depan orang yang tidak meyakininya, sebab dikhawatirkan sanggup berakibat mengingkarinya, dan kemudian membenci!

Dari sini sebagian dari para andal hadis mengingkari bahwa Hasan al-Bashri pernah mendapat bimbingan secara mulut wacana dzikir kalimat (Tidak ada Tuhan selain Allah dari Ali r.a., sebab sangat langkanya dan sedikitnya argumentasi untuk menguatkan akan hal itu secara masyhur. Bahkan sebagian dari mereka juga mengingkari bahwa Hasan al-Bashri sempat berkumpul dengan Ali bin Abu Thalib r.a., apalagi wacana kesempatan mendapat bimbingan tarekat dari Ali r.a. Tapi yang benar, ia sempat berkumpul dengan Ali r.a. dan ia sempat mendapat bimbingan secara mulut wacana dzikir La Ilaha IllaLlah (Tidak ada Tuhan selain Allah) dari Ali r.a. dan Ali pun sempat memakaikan serpihan kain (khirqah) kepada al-Hasan.

Al-Hafizh Ibnu Hajar dan muridnya, al-Hafizh Jalaluddin as-Suyuthi —rahimahumallah— meriwayatkan, dimana ia menyampaikan bahwa sanadnya sahih dan para perawinya juga sanggup dipercaya: Sesungguhnya Hasan al-Bashri pernah berkata: ‘Aku pernah mendengar Ali r.a. berkata: Rasulullah Saw. bersabda:‘Umatku menyerupai hujan, tidak diketahui mana yang terbaik, yang pertama atau yang terakhir?’.”

Dalam riwayat lain dari Hasan al-Bashri yang mengatakan: Aku pernah mendengarAli r.a. di Madinah, ’dimana ia mendengar suara, kemudian ia bertanya: “Apa gerangan ini?” Orang-orang menjawab, “Utsman bin Affan terbunuh!!” Lalu ia berkata: “YaAllah, bahwasanya saya bersaksi kepada-Mu, bahwa saya tidak rela dan tidak peduli [siapa pun pembunuhnya].”

Dalam Musnad Ibnu Musdi, dari Hasan al-Bashri yang berkata: “Aku pernah berjabat tangan dengan Ali bin Abu Thalib r.a.”

Jalaluddin as-Suyuthi —rahimahullah— mengatakan: “Menurut ekonomis saya dan juga sekelompok para Huffazh (penghafal Hadis) riwayat Hasan al-Bashri dan Alii bin Abu Thalib r.a. memang benar dan ada.”

Jalaluddin as-Suyuthi —rahimahullah— juga mengatakan: Demikian halnya apa yang dikemukakan guru kami, al-Hafizh Ibnu Hajar juga sama dengan pernyataan kami, dimana ia menawarkan dukungan, dengan mengatakan: Hal ini sanggup diperkuat oleh aneka macam aspek: Pertama, bahwa apa yang ditetapkan (mutsbat) akan didahulukan daripada yang meniadakan (menafikan); Kedua, al-Hafizh menyebutkan, bahwa Hasan al-Bashri pernah shalat di belakang Utsman bin Affan r.a.. Dan ketika Utsman terbunuh, maka ia shalat di belakang Ali r.a. ketika ia tiba di Madinah. Ia juga pernah berkumpul dengan Ali r.a. setiap hari sebanyak lima kali. Syekh Jalaluddin as-Suyuthi menjelaskan hal ini secara panjang lebar pada penggalan yang ia tulis mengenai kebenaran mengenakan serpihan kain, tarekat al-Qadiriah, ar-Rifa’iah dan as-Suhrawardiah. Maka sebaiknya anda merujuk kembali pada penjelasannya.

Maka sanggup diketahui, bahwa sanad talqin (bimbingan dzikir secara lisan) dan mengenakan serpihan kain (khirqah) yang berlaku di kalangan ulama salaf antara satu dengan yang lain tidak terdapat sanad yang tetap sesuai dengan cara yang ditempuh para andal hadis, sebab mereka telah berprasangka baik terhadap generasi pendahulunya. Sampai pada balasannya muncul al-Hafizh Ibnu Hajar dan al-Hafizh Jalaluddin as-Suyuthi serta orang-orang yang sependapat dengan mereka. Kemudian mereka menyatakan benar dan sahih, bahwa Hasan al-Bashri pernah mendengar Ali r.a. Mereka juga mengakibatkan sanadnya bersambung (mutashil) hingga kepada al-Bashri. Maka anda jangan heran dan merasa aneh, wahai saudaraku, bila sebagian para andal hadis menyatakan Mauquf (berhenti) wacana persambungan sanad mengenakan serpihan kain dan bimbingan dzikir secara lisan, sebab memang hal itu tidak sanggup dilakukan, dimana sebagian besar kaum sufi merasa kesulitan untuk mengeluarkan (takhrij) dan kitab-kitab para andal hadis. Semoga Allah Swt. senantiasa memberi rahmat kepada Ibnu Hajar dan Jalaluddin as-Suyuthi yang telah menjelaskan wacana persambungan sanad duduk kasus tersebut.

Insya Allah hal mi bakal kamijelaskan lebih lanjut ketika kami membicarakan teiitang sanad mengenakan serpihan kain, dimana Syekh Muhyiddin Ibnu al-Arabi tidak pernah melihat persambungan sanad mengenakan serpihan kain melalui cara menukil (mengalihkan kepada orang lain) secara lahiriah. Kemudian ia mengambilnya melalui Nabi Khidhir a.s. ketika ia sedang berkumpul dengannya, hingga balasannya dijadikan sebagai referensi dalam sanad. Dan segala puji hanya milik Allah.

Bila kini anda telah tahu akan kebenaran dan kesahihan sanad kaum sufi dan sambungnya sanad taiqin dan Nabi Saw. kepada Ali bin Abu Thalib r.a., maka Au r.a. juga mentaiqin Hasan al-Bashri, kemudian Hasan al-Bashri men-talqin Habib al-Ajami, dan Habib al-Ajami men-talqin Dawud ath-Tha’i, kemudian Dawud ath-Tha’i men-talqin Ma’ruf al-Karkhi, kemudian Ma’ruf al-Karkhi men-talqin Sari as-Saqathi, kemudian Sari as-Saqathi men-talqin Abu al-Qasim al-Junaid, kemudian al-Junaid men-talqin al-Qadhi Ruwaim, kemudian Ruwaim men-talqin Muhammad bin Khafif asy-Syirazi, kemudian Ibnu Khafif men-talqin Abu al-Abbas an-Nahawandi, kemudian an-Nahawandi men-taiqin Syekh Faraj az-Zanjani, kemudian az-Zanjani men-talqin Syekh Syihabuddin as-Suhrawardi, kemudian Syekh Syihabuddin men-talqin Syekh Najibuddin Burghusy asy-Syirazi, kemudian Ibnu Burghusy men-talqin Syekh Abdush-Shamad an-Nathtani, kemudian Syekh Abdush-Shamad men-talqin Syekh Hasan asy-Syamsiri, kemudian asy-Syamsiri men-talqin Syekh Najmuddin, kemudian Syekh Najmuddin men-talqin Syekh Mahmud al-Ashfahani, kemudian Syekh Mahmud men-talqin Syekh Yusuf al-Ajami al-Kurani, kemudian Syekh Yusuf men-talqin Syekh Hasan at-Tustari yang dimakamkan di bersahabat jembatan al-Muski Mesir al-Mahrusah, kemudian Syekh Hasan men-talqin Syekh Ahmad bin Sulaiman az-Zahid, kemudian az-Zahid men-talqin Syekh Madyan, kemudian Syekh Madyan men-talqin Syekh Muhammad, putra dan saudara wanita Madyan, Tuan Guru Muhammad men-taiqin Syekh Muhammad as-Surawi dan Syekh Ali al-Murshifi. Kedua Tuan Guru tersebut yang membimbing kami bertobat dan men-talqin hamba yang selalu membutuhkan pertolongan Allah ini Abdul-Wahab bin Ahmad asy-Sya’rani, penulis risalah ini.

Kemudian saya juga pernah mendapat bimbingan dzikir secara mulut (talqin) dari Tuan Guru Muhammad asy-Syanawi, seorang murid dan kedua guru saya yang terakhir tersebut, dimana dia membimbing saya dalam bertobat dan memberi izin saya untuk men-talqin dzikir dan mendidik para murid sufi, untuk menggandakan dan mencari berkah terhadap tarekat kaum sufi.

Sayajuga mempunyai jalur tarekat lain yang sanadnya lebih bersahabat dan kedua sanad di atas, dimana saya pernah mendapat bimbingan secara mulut dari Syekh Islam Zakaria al-Anshani, dimana ia mendapat bimbingan dari Tuan Guru Muhammad al-Ghamari, murid dari Tuan Guru Ahmad az-Zahid, teman dari Syekh Madyan. Sehingga silsilah antara saya dengan Syekh az-Zahid hanya ada dua orang. Darij alur ini saya sejajar dengan Tuan Guru Muhammad as-Surawi, guru dari Syekh Muhammad asy-Syanawi. Akan tetapi dan jalur ini tidak ada yang mengizinkan saya untuk men-talqin dan mendidik para murid sufi, selain Tuan Guru Muhammad asy-Syanawi.

Saya juga merniliki jalur tarekat lain, selain jalur-jalur di atas, dimana antara saya dengan Rasulullah Saw. hanya terdapat dua orang silsilah. Jalur ini saya dapatkan bimbingan dari Tuan Guru Ali al-Khawwash, dimana dia pernah mendapat bimbingan dari Tuan Guru Ibrahim al-Matbuli yang eksklusif mendapat bimbingan dari Rasulullah Saw. secara sadar dengan mulut dan dengan cara yang sudah dikenal di kalangan kaum sufi di alam ruhaniah. Kemudian Tuan Guru Ali al-Khawwash sebelum wafat juga mendapat bimbingan langung dari Rasulullah Saw. tanpa perantaraan silsilah orang lain, sebagaimana yang pernah didapatkan oleh gurunya, Syekh Ibrahim al-Matbuli. Dengan demikian antara saya dengan Rasulullah Saw. hanya ada satu orang silsilah. Jalur tarekat ini hanya saya sendiri yang sanggup mendapat di Mesir hingga dikala ini. Sebagaimana yang saya jelaskan dalam Kitab al-Minan wal-Akhlaq dan dalam Kitab al-’Uhud al-Muhammadiyyah. Dan hanya Allah yang Mahatahu.

Ketika Tuan Guru Muhammad asy-Syanawi —rahimahullah— membimbingku dzikir secara lisan, ia menyenandungkan bait syair berikut:

Aku gundah di malarnku, selagi saya hidup.

Jika saya mati, maka siapa yang akan gundah setiap malamnya setelahku, Kemudian dia berkata kepadaku: Sudah menjadi tradisi para guru tarekat sufi, sehabis mereka men-talqin muridnya akan menyebutkan sanad (silsilah) talqin yang mereka dapatkan dari guru sebelumnya, dan menyebutkan sanad mengenakan serpihan kain (khirqah) kepada sang murid sebelum sang guru mengenakan serpihan kain tersebut kepada sang murid. Dia juga memberi tahu saya, bahwa di NegaraYaman sana terdapat jamaah yang mempunyai sanad talqin bacaan shalawat kepada Rasulullah Saw. Mereka membimbing bacaan shalawat kepada sang murid, sehingga mereka sibuk untuk memperbanyak shalawat kepada Nabi Muhammad Saw. Sang murid akan terus memperbanyak shalawat kepada Nabi, hingga balasannya ia sanggup bertemu dengan Rasulullah Saw. secara sadar dan berbicara secara lisan. Ia sanggup bertanya kepada Nabi wacana beberapa insiden sebagaimana seorang murid yang bertanya kepada gurunya. Tingkatan spiritual sang murid ini ternyata naik begitu cepat dalam waktu hanya beberapa hari, sehingga ia tidak butuh lagi bimbingan dari para guru sufi, sebab eksklusif dibimbing oleh Rasulullah Saw. sendiri.

Syekh Muhammad asy-Syanawi melanjutkan pembicaraannya: Guru kebenaran dalam menempuh jalur tarekat tersebut ialah ia sanggup bertemu dengan Nabi Saw —sebagaimana yang kami sebutkan. Kalau ia tidak berhasil bertemu dan berkumpul dengan Nabi Saw. maka jalur tarekatnya terperinci tidak benar. Dan diantara orang yang sanggup berhasil bertemu dengan Nabi Saw. ialah Syekh Ahmad az-Zawawi ad-Damanhuri, dimana wirid shalawatnya kepada Nabi Saw. setiap harinya sebanyak lima puluh ribu kali shalawat dengan lafal berikut:

“Ya Allah, agar shalawat (rahmat) tetap Engkau berikan kepada Junjungan kita Muhammad, seorang Nabi yang Llmmi dan kepada keluarga serta para Sahabatnya, dan juga salam sejahtera kepadanya.”

Dan diantara orang yang juga berhasil menempuh jalur ini ialah Syekh Nuruddin asy-Syanwani, pendiri majelis shalawat yang ada di Jami al-Azhar. Termasuk juga orang yang berhasil menempuh jalur ini ialah Syekh Muhammad Dawud al-Mauzalawi, Syekh Muhammad al-SAil ath-Thanaji, Syekh Jalaluddin as-Suyuthi dan sekelompok orang yang kami sebutkan dalam Mukadimah Kitab al-Vhud 4- Muhammadiyyah dan generasi terdahulu dan sekarang.

Saya mengambil tarekat shalawat mi melaluij alur Syekh Nuruddin asy-Syanwani yang mengatakan: “Bahwa diantara syarat-syaratnya ialah makan masakan yang halal, tidak menyibukkan diri dengan apa pun selain apa yang diizinkan oleh Syariat.” Maka segala puji hanya milik Allah, Tuhan Pemelihara alam.

Sumber : http://cahayadzikir.wordpress.com/2012/11/04/sanad-silsilah-talqin-kaum-sufi/

Sumber http://tarekataulia.blogspot.com/

Comments