Beriman Dan Berinfak Shalih Dengan Bantu-Membantu (2)


Bagian Terakhir dari Dua Tulisan [2/2]
Semua itu sanggup dilihat melalui pengalaman.
Satu Gambaran.
Jika anda mengamati dan menilai keadaan orang pada umumnya dengan barometer doktrin dan amal shaleh, maka anda akan melihat perbedaan jauh antara orang mu’min yang berbuat sesuai tuntunan imannya dan yang tidak demikian. Hal itu alasannya Islam sangat menganjurkan qana’ah (menerima dengan penuh kerelaan) terhadap rezki dari Allah dan terhadap ragam karunia dan kemurahanNya yang diberikanNya kepada para hambaNya.

Orang mu’min bila diuji dengan datangnya penyakit atau kefakiran atau semacamnya –yang setiap orang bisa menjadi target cobaan itu-, maka dengan doktrin dan jiwa qana’ah serta ridha terhadap apa yang diberikan Allah kepadanya, anda dapati ia berhati sejuk dan bermata ceria, tidak menuntut sesuatu yang tidak ditakdirkan untuknya. Di segi materi, ia memandang kepada yang lebih rendah, tidak memandang kepada yang lebih atas. Bisa jadi, kegembiraan, kesenangan dan ketentraman batinnya melebihi orang yang meraih semua keinginan duniawi, bila orang itu tidak dikarunianya jiwa qanaah.


Kemudian, anda dapati orang yang tidak berbuat sesuai dengan tuntunan iman, jik ia diuji dengan sedikit kefakiran saja, atau tidak diperolehnya keinginan-keinginan duniawinya, maka anda dapati ia sangat hancur dan sengsara.

Gambaran Lain.
Jika terjadi pada seseorang hal-hal yang seram dan ia tertimpa malapetaka dan bencana, maka orang yang benar imannya akan anda dapati ia berhati teguh, berjiwa tenteram lagi tegar menangani dan menyetir sesuatu yang menimpanya dengan pikiran, ucapan dan tindakan yang dimampuinya. Ia kukuhkan jiwanya untuk menghadapi peristiwa yang menimpa itu. Sikap semacam ini yakni perilaku yang menentramkan dan mengukukuhkan hati seseorang.

Sebaliknya, orang yang tidak mempunyai iman, bila terjadi peristiwa-peristiwa yang menakutkan, anda dapati ia guncang hatinya dalam menghadapinya, syaraf-syaraf tegang, dan pikirannya tercerai-berai. Rasa kekhawatiran dan ketakutan merasuk jiwanya. Rasa ketakutan dari bahaya luar dan seribu gejolak di dalam telah tertumpuk menyatu dalam dirinya, yang tidak mungkin digambarkan. Manusia semacam ini, bila tidak mempunyai beberapa sarana terapi alami yang hal itu membutuhkan latihan banyak, maka ketahanan dirinya akan luluh dan syaraf-syarafnya pun akan tegang. Itu semua alasannya ia tidak mempunyai doktrin yang sanggup membawanya untuk bersabar, terutama dalam situasi sulit dan kondisi yang menyedihkan lagi mengguncang.

Orang baik dan orang jahat, orang mu’min dan orang kafir yakni sama di sisi keberanian yang diperoleh melalui upaya atau latihan dan sisi naluri (insting) yang berfungsi melipur dan menurunkan volume rasa takut. Akan tetapi, orang mu’min, dengan kekuatan imannya, kesabarannya, kepasrahan dan kebersandarannya kepada Allah serta keberharapannya pada pahalaNya, ia unggul dengan mempunyai nilai-nilai lebih yang meningkatkan keberaniannya, meringankan tekanan rasa takutnya dan membuatnya memandang kecil segala kesulitan yang dihadapinya.

Allah berfirman.

“Artinya : Jika kau menderita kesakitan, bahwasanya merekapun menderita kesakitan (pula) sebagaimana apa yang kau derita. Sedangkan kau mengharap dari Allah apa yang tidak mereka harapkan” [2] [An-Nisaa : 104]

Para mum’min danugrahi ma’unah (pertolongan), ma’iyyah (rasa Kebersamaan) dan madad (bantuan) Allah yang khusus, yang sanggup menyirnakan segala ketakutan.

Allah Ta’ala berfirman.

“Artinya : Dan bersabarlah, bahwasanya Allah bersama [3] orang-orang yang bersabar” [Al-Anfal : 46]


[Disalin dari kitab Al-Wasailu Al-Mufidah Lil Hayatis Sa'idah, edisi Indonesia Dua Puluh Tiga Kiat Hidup Bahagia, Penulis Asy-Syaikh Abdur Rahman bin Nashir As-Sa'di, Penerjemah Rahmat Al-Arifin Muhammad bin Ma'ruf, Diterbitkan Kantor Atase Agama Kedutaan Besar Saudi Arabia Jakarta]
_________
Foote Note
[3] Yakni : dengan mengaruniakan pertolongan, kemenangan dan dukunganNya (Taisiru-l-Mannan)
 

Comments