Beriman Dan Berinfak Shalih Dengan Sebenarnya


Bagian Pertama dari Dua Tulisan [1/2]
Sarana yang paling agung yang merupakan sarana pokok dan dasar bagi tergapainya hidup senang ialah : beriman dan bersedekah shalih. Allah Azza wa Jalla berfirman:

"Artinya : Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih[1], baik pria maupun perempuan, sedangkan ia beriman, maka sebenarnya akan Kami karuniakan kepadanya kehidupan yang baik dan sebenarnya akan Kami beri tanggapan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka lakukan." [An-Nahl: 97]

Kepada orang yang memadukan antara keyakinan dan amal shalih, Allah Ta’ala memberitahukan dan menjanjikan kehidupan yang baik di dunia dan pahala yang baik di dunia dan akhirat.

Sebabnya jelas. Karena, orang-orang yang beriman kepada Allah dengan keyakinan yang benar lagi membuahkan amal shalih yang bisa memperbaiki hati, akhlak, urusan duniawi dan ukhrawi, mereka mempunyai prinsip-prinsip fundamental dalam menyambut datangnya kesenangan dan kegembiraan, ataupun datangnya keguncangan, kegundahan dan kesedihan.


Mereka menyambut segala hal yang menyenangkan dan menggembirakan dengan menerima, mensyukurinya dan mempergunakannya untuk seeuatu yang bermanfaat. Jika mereka menggunakannya demikian, maka pasti hal itu akan melahirkan nilai-nilai agung di balik kegembiraan karenanya, pendambaan kelanggengan dan keberkahannya, dan keberharapan pahala menyerupai pahala yang diperoleh para hamba yang bersyukur. Nilai-nilai itu, dengan setumpuk buah dan keberkahannya, justru mengungguli wujud kegembiraan-kegembiraan itu, yang itupun cuilan dari buahnya.

Mereka hadapi cobaan, mara bahaya, kegundahan dan kesedihan dengan melawan apa yang mungkin dilawannya, menepis sedikit apa yang mungkin ditepis, dan bersabar terhadap apa yang harus terjadi dihentikan tidak. Dengan demikian, dibalik cobaan cobaan itu lahirlah nilai-nilai agung berupa perilaku melawan yang penuh arti, pengalaman dan kekuatan serta kesabaran dan ketulusan untuk hanya berharap pahala Ilahi. Dengan meletakkannya nilai-nilai agung itu di hati, kecillah di mata mereka aneka cobaan berat. Sedangkan yang bersemayam di hati justeru kesenangan, harapan mulia dan dambaan untuk menggapai karunia dan pahala dari Allah.

Dalam hadits shahih, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan ini, dia bersabda.

“Artinya : Sunnguh mengagumkan perihal mu’min. Semua hal yang dialaminya yakni baik. Jika ia mendapat hal yang menyenangkan, ia bersyukur. Maka hal itu menjadi suatu kebaikan baginya. Jika ia tertimpa hal yang menyakitkan, ia bersabar. Maka hal itu menjadi suatu kebaikan baginya. Sifat itu tidak dimiliki siapapun kecuali oleh seorang mu’min” [Imam Ahmad bin Hanbal, Al-Fathur Rabbani Lil Tartibi Musnadil Imam Ahmadabni Hanbal AS-Syaibani, Kitab Al-Qadar. Muslim, Shahih Muslim, Kitan Az-Zuhud Wa Ar-Raqaiq]

Rasulullah menerangkan bahwa keberuntungan, nilai kebaikan dan buah prilaku mu’min berlipat ganda pada ketika mengalami kesenangan ataupun cobaan. Oleh alasannya yakni itu, bisa jadi anda jumpai dua orang yang sama-sama mengalami ujian berupa keberuntungan dan bencana. Namun, antara satu dan yang lain berbeda jauh dalam menghadapi ujian itu, sesuai dengan kadar keyakinan dan amal shalih yang ada pada diri masing-masing.

Orang yang beriman dan melaksanakan amal shalih menghadapi keberuntungan dengan rasa syukur dan perilaku prilaku yang menandakan kesungguhan syukur itu, dan menghadapi tragedi dengan bersabar dan bersikap prilaku yang menandakan kesungguhan kesabaran itu. Dengan demikian, hal itu sanggup membuahkan di hatinya kesenangan kegembiraan dan hilangnya kegundahan, kesedihan, kegelisahan, kesempitan dada dan kesengsaraan hidup. Selanjutnya, kehidupan senang akan benar-benar menjadi realita baginya di dunia ini.

Sedangkan yang lain menghadapi kesenangan hidup dengan kcongkakan, kesombongan dan perilaku melampui batas. Lalu, melencenglah moralnya. Ia menyambut kesenangan hidup menyerupai halnya hewan yang menyambut kesenangan dengan serakah dan rakus. Seiring itu, hatinya tidak tenteram. Bahkan, hatinya bercerai berai oleh aneka macam hal. Hatinya bercerai-berai oleh kekhawatirannya terhadap sirnanya segala kesenangan dan banyaknya benturan-benturan yang pada umumnya, muncul sebagai dampaknya. Harinya bercerai berai tak menentu, lantaran memang hasrat jiwa tidak mau berhenti pada suatu batas. Bahkan, terus gandrung kepada keinginan-keinginan lain, yang kadangkala sanggup terwujud dan kadangkala tidak sanggup terwujud.

Andaikan di bayangkan sanggup terwujud, ia pun tetap gelisah oleh hal-hal tadi. Ia pun menyambut cobaan yang sulit dengan rasa gelisah, keluh kesah, khawatir dan gusar. Tidak usah anda bertanya perihal efek jelek dari itu semua, yang berupa kesengsaraan hidup, teridapnya penyakit jiwa maupun syaraf dan rasa kekhawatiran bercampur ketakutan yang bisa jadi, pada gilirannya akan menyeret ke kondisi yang paling jelek dan malapetaka yang paling mengerikan. Karena ia tidak mempunyai harapan pada pahala Ilahi dan tidak mempunyai kesabaran yang bisa melipur hatinya dan meringankan beban yang dirasakannya.


[Disalin dari kitab Al-Wasailu Al-Mufidah Lil Hayatis Sa'idah, edisi Indonesia Dua Puluh Tiga Kiat Hidup Bahagia, Penulis Asy-Syaikh Abdur Rahman bin Nashir As-Sa'di, Penerjemah Rahmat Al-Arifin Muhammad bin Ma'ruf, Diterbitkan Kantor Atase Agama Kedutaan Besar Saudi Arabia Jakarta]
_________
Foote Note
[1] Ibnu Katsir, dalam Tafsiru l Qur'an-l Azhim, menyampaikan : man 'amila shalihan, wa huwa al-amalu-l-mutabi; li Kitabillahi Ta'ala wa sunnati Nabiyyihi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Maksudnya, yaitu amal (perbuatan) yang mengikuti kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam.
[2] Yaitu keberuntungan dengan memperoleh pahalaNya dan keselamatan dari siksaNya (Taisiru-l-Mannan).

Comments