Saudah Binti Zam`Ah







Walaupun Saudah binti Zum’ah tidak terlalu terkenal dibandingkan dengan istri Rasulullah lainnya, dia tetap termasuk perempuan yang mempunyai martabat yang mulia dan kedudukan yang tinggi di sisi Allah dan Rasul-Nya. Dia telah ikut berjihad di jalan Allah dan termasuk perempuan yang pertama kali hijrah ke Madinah. Perjalanan hidupnya penuh dengan contoh yang baik, terutama bagi wanita-wanita sesudahnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalm. menikahinya bukan semata-mata alasannya yaitu harta dan kecantikannya, alasannya yaitu memang dia tidak tergolong perempuan anggun dan kaya. Yang dilihat Rasulullab yaitu semangat jihadnya di jalan Allah, kecerdasan otaknya, perjalanan hidupnya yang senantiasa baik, keimanan, serta keikhlasannya kepada Allah dan Rasul-Nya.



Dia yaitu Seorang Janda

Telah kita ketahui bahwa pada tahun-tahun kesedihan alasannya yaitu ditinggal wafat oleh Abu Thalib dan Khadijah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalm. tengah mengalami rnasa sulit. Kondisi menyerupai itu dimanfaatkan olah orang-orang Quraisy untuk rnenyiksa Rasulullah dan kaurn muslimin. Pada tahun-tahun ini, terasa cobaan dan kesedihan tiba sangat besar dan silih berganti.

Ketika itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalm. berpikir untuk kembali ke Tsaqif atau Thaif, dengan cita-cita biar orang-orang di Thaif memperoleh hidayah untuk masuk Islam dan membantu beliau. Akan tetapi, masyarakat Tsaqif menolak mentah-mentah kehadiran beliau, bahkan mereka memerintahkan belum dewasa mereka melempari dia dengan batu, hingga kedua tumit dia luka dan berdarah. Walaupun begitu, dia tetap sabar, bahkan tetap mendoakan mereka biar memperoleh hidayah.

Dalam keadaan kesepian sehabis kematian Khadijah, terjadilah insiden Isra’ Mi’raj. Malaikat Jibril membawa Rasulullah ke Baitul Maqdis dengan kendaraan Buraq, kemudian menuju langit ke tujuh, dan di sana dia menyaksikan gejala kebesaran Allah. Ketika kembali ke Mekah, dia menuju Ka’bah dan mengumpulkan orang-orang untuk mendengarkan dongeng perjalanan dia yang sangat menakjubkan itu. Kaum musyrikin yang mendengar dongeng itu tidak memercayainya, bahkan mengolok-olok beliau, Bertambahlah kendala dan rintangan yang harus dia hadapi. Dalam kondisi menyerupai itu, tampillah Saudah binti Zum’ah yang ikut berjuang dan senantiasa mendukung Rasulullah, kemudian dia menjadi istri Rasulullah yang kedua setelah Khadijah.

Terdapat beberapa dongeng yang menyertai janji nikah Rasulullah dengan Saudah binti Zum’ah. Tersebutlah Khaulah binti Hakirn, salah seorang mujahid perempuan yang pertama masuk Islam. Khaulah yaitu istri Ustman bin Madh’um. Dia yang dikenal sebagai perempuan yang berpendirian kuat, berani, dan cerdas, sehingga dia mempunyai nilai tersendiri bagi Rasulullah.

Melalui kehalusan perasaan dan kelembutan fitrahnya, Khaulah sangat memahami kondisi Rasulullah yang sangat membutuhkan pendamping, yang nantinya akan menjaga dan mengawasi urusan dia serta mengasuh Ummu Kultsum dan Fathimah setelah Zainab dan Ruqayah menikah. Pada mulanya, Utsman bin Madh’um kurang sepakat dengan pemikiran Khaulah, alasannya yaitu khawatir hal itu akan menambah beban Rasulullah, namun dia tetap pada pendiriannya.

Kemudian Khaulah menemui Rasulullah dan bertanya eksklusif perihal orang yang akan rnengurus rumah tangga beliau.

Dengan saksama, dia mendengarkan seluruh pernyataan Khaulah alasannya yaitu gres pertama kali ini ada orang yang memperhatikan problem rumah tangganya dalam kondisi dia yang sangat sibuk dalam membuatkan agama Allah.

Beliau melihat bahwa apa yang diungkapkan Khaulah mengandung kebenaran, sehingga dia pun bertanya, “Siapakah yang kamu pilih untukku?” Dia menjawab, “Jika engkau menginginkan seorang gadis, dia yaitu Aisyah binti Abu Bakar, dan kalau yang engkau inginkan yaitu seorang janda, dia yaitu Saudah binti Zum’ah.” Rasulullah mengingat nama Saudah binti Zum’ah, yang semenjak keislamannya begitu banyak memikul beban usaha membuatkan Islam, sehingga pilihan dia jatuh pada Saudah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalm. menentukan janda yang namanya hanya dikenal oleh beberapa orang. Pernikahan dia dengannya tidak didorong oleh keinginan untuk memenuhi nafsu duniawi, tetapi lebih alasannya yaitu Rasulullah yakin bahwa Saudah sanggup ikut serta menjaga keluarga dan rumah tangga dia setelah Khadijah wafat.

Jika kita rajin mdnyimak beberapa catatan sejarah perihal kehidupan Rasulullah yang berkaitan dengan Saudah binti Zum’ah, kita akan menemukan beberapa keterangan perihal sosok Saudah. Saudah yaitu seorang perempuan yang tinggi besar, berbadan gemuk, tidak cantik, juga tidak kaya. Dia yaitu janda yang ditinggal mati suaminya. Rasulullah memilihnya sebagai istri alasannya yaitu kadar keimanannya yang kokoh. Dia termasuk perempuan pertama yang masuk Islam dan sabar menanggung kesulitan hidup.


Nasab dan Keislamannya

Saudah binti Zum’ah yang berjulukan lengkap Saudah binti Zum’ah bin Abdi Syamsin bin Abdud dari Suku Quraisy Amiriyah.

Nasabnya ini bertemu dengan Rasulullah pada Luay bin Ghalib. Di antara keluarganya, dia dikenal mempunyai otak cemerlang dan berpandangan luas. Pertama kali dia menikah dengan anak pamannya, Syukran bin Amr, dan menjadi istri yang setia dan tulus. Ketika Rasulullah membuatkan Islam dengan terang-terangan, suaminya, Syukran, termasuk orang yang pertama kali mendapatkan hidayah Allah. Dia memeluk Islam bersama kelompok orang dari Bani Qais bin Abdu Syamsin.

Setelah berbai’at di hadapan Nabi, dia segera menemui istrinya, Saudah, dan memberitakan perihal keislaman serta agama gres yang dianutnya. Kecemerlangan pikiran dan hatinya mengakibatkan Saudah cepat memahami anutan Islam untuk selanjutnya mengikuti suami menjadi seorang muslimah.


Hijrah ke Habbasyah

Keislaman Syukran, Saudah, dan beberapa orang yang mengikuti jejak mereka berakibat cemoohan, penganiayaan, dan pengasingan dari keluarga terdekat mereka. Karena itu, Syukran menemui Rasulullah beserta beberapa keluarganya yang sudah memeluk Islam, menyerupai saudaranya (Saud dan Hatib), keponakannya (Abdullah bin Sahil bin Amr), ditambah saudara kandung Saudah (Malik bin Zum’ah). Rasulullah menasihati biar mereka tetap kokoh berpegang pada akidah dan menyarankan biar mereka hijrah ke Habasyah, mengikuti saudara-saudara seiman yang telah terlebih dahulu hijrah, menyerupai Utsman bin Affan dan istrinya, Ruqayah binti Muhammad. Akhirnya, kaum muslimin menetapkan untuk hijrah. Di antara kaum muslimin yang hijrah ke dua ke Habasyah, terdapat Saudah yang turut mencicipi pedihnya meninggalkan kampung halaman serta sulitnya menempuh perjalanan dan cuaca jelek demi menegakkan agama yang diyakininya.

Di Habasyah mereka disambut dan diperlakukan baik oleh Raja Habasyah walaupun keyakinan mereka berbeda, sehingga beberapa hari lamanya mereka menjadi tamu raja. Akan tetapi, rasa rindu mereka dan keinginan untuk melihat wajah Rasulullah mendera mereka. Sambil menunggu waktu yang sempurna untuk kembali ke Mekah, mereka mengisi waktu dengan mengenang kehangatan berkumpul dengan Rasulullah dan saudara-saudara seiman di Mekah. Ketika mendengar keislaman Umar bin Khaththab, mereka menyambut dengan suka cita. Betapa tidak, Umar bin Khaththab yaitu pemuka Quraisy yang disegani. Karena itu, mereka menetapkan untuk kembali ke Mekah dengan cita-cita Umar sanggup menjamin keselamatan mereka dan gangguan kaum Quraisy. Di antara mereka yang ikut kembali yaitu Syukran bin Amr. Akan tetapi, dalam perjalanan, Syukran jatuh sakit alasannya yaitu kelaparan semenjak kakinya menginjak tanah Habasyah. Akhirnya dia meninggal di tengah perjalanan menuju Mekah.

Betapa sedih perasaan Saudah binti Zum’ah ketika mendengar suaminya meninggal dunia. Baru saja dia mengalarni betapa sedihnya meninggalkan kampung halaman, sulitnya perjalanan ke Habasyah, cemoohan, dan penganiayaan orang-orang Quraisy, kini dia harus mencicipi sedihnya ditinggal suami. Dia merasa kehilangan orang yang senantiasa bersamanya dalam jihad di jalan Allah.


Rahmat Allah

Saudah binti Zum’ah menanggung semua derita itu dengan kepasrahan dan ketabahan, serta menyerahkan semuanya kepada Allah dengan senantiasa mengharapkan keridhaan-Nya. Dia kembali ke Mekah sebagai satu-satunya janda, dengan asumsi bahwa keadaan kaum muslimin di Mekah sudah membaik setelah beberapa pemuka Quraisy menyatakan memeluk Islam. Akan tetapi, temyata kezaliman orang-orang Quraisy tetap merajalela. Dalam kondisi menyerupai itu, tidak ada pilihan lain baginya selain kembali ke rumah ayahnya, Zum’ah bin Qais yang masih memeluk agama nenek moyang.

Akan tetapi, Zum’ah bin Qais tetap mendapatkan dan rnenghormati putrinya. Tidak sedikit pun dia berusaha membujuk biar putrinya meninggalkan Islam dan kembali menganut kepercayaan nenek moyang.

Ketika Khaulah binti Hakim berusaha mencarikan istri untuk Rasulullah, dia menyebut nama Saudah. Dalam diri Saudah, Rasulullah tidak meihat kecantikannya, tetapi lebih melihat bahwa Saudah yaitu sosok perempuan yang sabar, mujahidah yang hijrah bersama kaum muslimin, dan bisa menjadi pemimpin di rumah ayahnya yang masih musyrik. Karena itulah, Rasulullah tergerak menikahinya dan menjadikannya sebagai istri yang akan meringankan beban hidupnya. Khaulah menemui Saudah dan memberikan kabar gembira bahwa tidak semua perempuan dianugerahi Allah menjadi istri Rasulullah serta menjadi istri insan yang paling mulia dan hamba pilihan-Nya. Ketika bertemu dengan Saudah, Khaulah berteriak, “Apa gerangan yang telah engkau perbuat sehingga Allah memberkahimu dengan nikmat yahg sebesar ini? Rasulullah mengutusku untuk meminang engkau baginya.” Sungguh, hal itu merupakan gosip besar. Saudah tidak pernah memimpikan kehormatan sebesar itu, terutama setelah orang-orang mencampakkannya alasannya yaitu kematian suaminya.

Rasulullah yang mulia benar-benar akan menjadikannya sebagai istri. Dengan perasaan terharu dia menyetujui undangan itu dan meminta Khaulah menemui ayahnya. Setelah Zum’ah bin Qais mengetahui siapa yang akan meminang putrinya, dan Saudah pun sudah setuju, lamaran itu eksklusif diterimanya, kemudian meminta Rasulullah Muhammad tiba ke rumahnya. Rasulullah memenuhi undangan tersebut bersama Khaulah, dan perkawinan itu terealisasi dengan baik.


Berada di Rumah Rasulullah

Saudah mulai memasuki rumah tangga Rasulullah, dan di dalarnnya dia mencicipi kehormatan yang sangat besar sebagai wanita. Dia merawat Ummu Kultsum dan Fathimah menyerupai merawat anaknya sendiri. Ummu Kultsum dan Fathimah pun menghargai dan memperlakukan Saudah dengan baik.

Saudah mempunyai kelembutan dan kesabaran yang sanggup menghibur hati Rasulullah, sekaligus memberi semangat. Dia tidak terlalu berharap dirinya sanggup sejajar dengan Khadijah di hati Rasulullah. Dia cukup puas dengan posisinya sebagai istri Rasulullah dan Ummul-Mukminin. Kelembutan dan kemanisan tutur katanya sanggup menggantikan wajahnya yang tidak begitu cantik, tubuhnya yang gemuk, dan umurnya yang sudah tua. Apa pun yang dia lakukan semata-mata untuk menghilangkan kesedihan Rasulullah. Sewaktu-waktu dia meriwayatkan hadits-hadits dia untuk memperlihatkan suka citanya di hadapan Nabi.

Beberapa bulan lamanya Saudah berada di tengahtengah keluarga Rasulullah. Keakraban dan keharmonisan mulai terjalin antara dirinya dan Rasulullah. Dia tidak pernah melaksanakan apa pun yang sanggup menyakitkan Rasulullah. Akan tetapi, pada dasarnya, dia belum bisa mengisi kekosongan hati Rasulullah, walaupun dia telah memperoleh limpahan kasih dan beliau, sehingga beberapa ketika kemudian turun wahyu Allah yang memerintahkan Rasulullah menikahi Aisyah binti Abu Bakar yang masih sangat belia. Rasulullah menemui Abu Bakar dan menjelaskan makna wahyu Allah kepadanya. Dengan kerelaan hati, Abu Bakar mendapatkan putrinya menikah dengan Rasulullah, dan disuruhnya Aisyah menemui beliau. Setelah melihat Aisyah, dia mengumumkan pinangan terhadap Aisyah.

Lantas, perilaku apa yang dilakukan Saudah ketika mengetahui pertunangan tersebut Dia rela dan tidak sedikit pun mempunyai perasaan cemburu. Dia merelakan madunya berada di tengah keluarga Rasulullah. Dia merasa cukup besar hati menyandang gelar Ummul-Mukminin, sanggup menyayangi Rasulullah, dan sanggup meyakini ajarannya, sehingga dia tidak terpengaruh oleh kepentingan duniawi.


Hijrahnya ke Madinah

Pertama kali Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalm. hijrah ke Madinah tanpa keluarga. Setelah menetap di sebuah rumah, dia mengutus seseorang membawa keluarganya, termasuk Saudah binti Zum’ah. Bersama Ummu Kultsum dan Fathimah, Saudah menuju Madinah, dan itu merupakan hijrahnya yang kedua setelah ke Habasyah. Bedanya, kini ini dia hijrah menuju negeri muslim yang masyarakatnya sudah berbai’at setia kepada Rasulullah.

Setelah masjid Nabawi di Yatsrib selesai dibangun, dibangunlah rumah Rasulullah di samping masjid tersebut. Di rumah itulah Saudah dan putri-putri Nabi tinggal, hingga Ummu Kultsum dan Fathimah menyayangi Saudah menyerupai kepada ibu kandung sendiri. Setelah masyarakat Is1am di Yatsrib terbentuk dan sarana ibadah selesai dibangun, Abu Bakar mengingatkan Rasulullah biar segera menikahi putrinya, “Bukankah engkau hendak membangun keluargamu, ya Rasul?

Ketika itu kehidupan Rasulullah tersibukkan oleh dakwah dan jihad di jalan Allah, sehingga kepentingan pribadinya tidak sempat terpikirkan. Ketika Abu Bakar mengingatkannya, barulah dia sadar dan segera menikahi Aisyah. Kemudian dia membangun kamar untuk Aisyah yang bersebelahan dengan kamar Saudah.


Sikap Hidupnya

Sejarah banyak mencatat perilaku Saudah terhadap Aisyah binti Abu Bakar. Wajahnya senantiasa ceria dan tutur katanya selalu lembut, bahkan dia sering membantu menuntaskan urusan-urusan Aisyah, sehingga Aisyah sangat menyayangi Saudah. Begitulah kecintaannya kepada Rasulullah sangat menempel erat di dasar hati. Segala sesuatunya dia niatkan untuk memperoleh kerelaan Rasulullah melalui dedikasi yang tulus terhadap keluarga beliau, tanpa keluh kesah. Baginya, kenikmatan yang paling besar di dunia ini yaitu melihat Rasulullah bahagia dan tertawa. Aisyah berkata, “Tidak ada perempuan yang lebih saya cintai untuk berkumpul bersamanya selain Sàudah binti Zum’ah, alasannya yaitu dia mempunyai keistimewaan yang tidak dimiiki perempuan lain.” Itu merupakan ratifikasi Aisyah, perempuan yang pikirannya cerdas dan senantiasa jernih, yang selalu ingin bersama Saudah dalam jihad, keyakinan, kesabaran, dan keteguhannya. Saudah merelakan malam-malam gilirannya untuk Aisyah semata-mata untuk memperoleh keridhaan Rasulullah. Aisyah mengisahkan, ketika usia Saudah semakin uzur dan Rasulullah ingin menceraikannya, Saudah berkata, “Aku mohon jangan ceraikan diriku. Aku ingin selalu berkumpul dengan istri-istrimu. Aku rela menyerahkan malam-malamku untuk Aisyah. Aku sudah tidak menginginkan lagi apa pun yang biasa diinginkan kaum wanita.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalm. pun mengurungkan niatnya.

Sebenarnya Rasulullah ingin menceraikan Saudah dengan baik-baik biar Saudah tidak bermasalah dengan istri-istri dia yang lainnya. Akan tetapi, Saudah menginginkan Rasulullah tetap mengikatnya hingga final hayatnya biar dia sanggup berkumpul dengan istri-istri Rasulullah. Alasan itulah yang mengakibatkan Rasulullah tetap mempertahankan pernikahannya dengan Saudah.

Saudah mendampingi Rasulullah dalam Perang Khaibar. Biasanya, sebelum berangkat berperang, Rasulullah mengundi dahulu istri yang akan menyertai beliau. Dalam Perang Khaibar, undian jatuh pada diri Saudah, dan kali ini Rasulullah disertai pendamping yang sabar. Dalam perang ini aneka macam kesulitan yang dialami Saudah, alasannya yaitu banyak juga kaum muslimin yang syahid sebelum Allah memperlihatkan kemenangan kepada mereka. Dalam kemenangannya, kaum muslimin memperoleh banyak rampasan perang yang belum pernah mereka alami pada peperangan lainnya. Saudah pun mendapatkan kepingan rampasan perang ini. Pada peperangan ini pula Rasulullah menikahi Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab. Mendengar hal itu pun Saudah tetap rela dan mendapatkan kehadiran Shafiyyah alasannya yaitu hatinya higienis dari sifat iri dan cemburu.

Saudah menunaikan haji wada’ bersama istri-istri Rasul lainnya. Setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalm. meninggal, Saudah tidak pernah lagi menunaikan ibadah haji alasannya yaitu khawatir melanggar ketentuan beliau. Beberapa ketika setelah haji wada’, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalm. sakit keras. Beliau meminta persetujuan istri-istri dia yang lain untuk tinggal di rumah Aisyah. Ketika Nabi sakit, Saudah tidak pernah putus-putusnya menjenguk dia dan membantu Aisyah hingga dia wafat. Setelah dia wafat, dia menetapkan untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah. Harta bagiannya dan BaitulMal sebagian besar dia salurkan di jalan Allah dengan semata-mata mengharapkan keridhaan-Nya.

Dia tidak pemah meninggalkan kamarnya kecuali untuk kebutuhan yang mendesak. Pada saat-saat menyerupai itu Abu Bakar selalu menjenguknya alasannya yaitu dia tahu bahwa Saudah sangat menyayangi putrinya.

Pada masa kekhalifahan Umar bin Khaththab, Saudah tetap menyendiri untuk beribadah hingga kematian menjemputnya. Sebagian riwayat menyebutkan bahwa dia meninggal pada tahun ke-19 Hijrah, sementara itu ada juga riwayat yang menyampaikan bahwa dia meninggal pada tahun ke-54 hijrah. Yang lebih mendekari kebenaran yaitu pendapat pertama, alasannya yaitu pada masa Rasulullah pun Saudah sudah termasuk tua.


Sifat dan Keutamaannya

Hal istimewa yang dimiliki Saudah yaitu kekuatannya dan keteguhannya dalam menanggung derita, menyerupai pengusiran, penganiayian, dan bentuk kezaliman lainnya, baik yang datangnya dari kaum Quraisy maupun dan keluarganya sendiri.

Hal menyerupai itu tidak gampang dia lakukan, alasannya yaitu perjalanan yang harus ditempuhnya itu sangat sulit serta perasaan yang berat ketika harus meninggalkan keluarga dan kampung halaman.

Sifat mulia yang juga menonjol darinya yaitu kesabaran dan keridhaannya mendapatkan takdir Allah ketika suaminya meninggal, harus kembali ke rumah orang renta yang masih musyrik, hingga Rasulullah memilihnya menjadi istri. Selama berada di tengah-tengah Rasulullah, keimanan dan ketakwaannya bertambah. Dia pun bertambah rajin beribadah.

Jelasnya, kadar keimanannya berada di atas insan rata-rata. Di dalam hatinya tidak pernah ada perasaan cemburu terhadap istri-istri Rasulullah lainnya.

Saudah pun dikenal dengan kemurahan hatinya dan suka bersedekah. Pada sebagian riwayat dikatakan bahwa Saudah paling gemar bederma di jalan Allah, baik ketika Rasulullah masih hidup maupun pada masa berikutnya, yaitu pada masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar.

Pembawaan yang ceria dan menyenangkan dia curahkan untuk menghibur Rasulullah. Karakter menyerupai itu merupakan contoh yang baik bagi setiap istri hingga ketika ini. Semoga rahmat Allah senantiasa menyertai Sayyidah Saudah binti Zum’ah dan semoga Allah memberinya kawasan yang layak di sisi-Nya. Amin.

Tambahan dongeng lainnya

Dia yaitu perempuan pertama yang dinikahi oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sepeninggal khadijah, kemudian menjadi istri satu-satunya bagi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam hingga Rasulullah Shalllallahu ‘Alaihi wa Sallam masuk berumah tangga dengan Aisyah.

Sebelum menikah dengan Rasulullloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Saudah telah menikah dengan Sakran bin Amr Al-Amiry, mereka berdua masuk islam dan kemudian berhijrah ke Habasyah bersama dengan rombongan shahabat yang lain.
Ketika Sakran dan istrinya Saudah tiba di Habasyah maka Sakran jatuh sakit dan meninggal. Maka jadilah Saudah menjanda. Kemudian datanglah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meminang saudah dan diterima oleh saudah dan menikahlah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan Saudah pada bulan Ramadhan.

Saudah yaitu tipe seorang istri yang menyenangkan suaminya dengan kesejukan candanya, sebagaimana dongeng yang diriwayatkan oleh Ibrahim an-Nakha’i bahwasannya saudah berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Wahai Rasulullah, tadi malam saya shalat di belakangmu, ketika ruku’ punggungmu menyentuh hidungmu dengan keras, maka saya pegang hidungku alasannya yaitu saya takut keluar darah, Maka tertawalah Rasulullah. Ibrahim berkata: Saudah biasa menciptakan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tertawa dengan candanya. (Thabaqoh Kubra 8/54).

Ketika Saudah sudah renta Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berniat hendak mencerainya, maka saudah berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Wahai Rasulullah janganlah engkau menceraikanku, bukanlah saya masih menghendaki laki-laki, tetapi alasannya yaitu saya ingin dibangkitkan dalam keadaan menjadi istrimu, maka tetapkanlah saya menjadi istrimu dan saya berikan hari giliranku kepada Aisyah. Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengabulkan permohonannya dan tetap menjadikannya menjadi salah satu dari seorang istrinya hingga Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meninggal. Dalam hal ini turunlah ayat Al-Qur’an, yang artinya: “Dan kalau seorang perempuan kuatir akan nusyuz atau perilaku tidak hirau dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik..” (QS. An-Nisa’:128). (Sunan Tirmidzi 8/320 dengan sanad yang dihasankan Ibnu Hajar dalam Al-Ishabah 7/720).

Aisyah berkata: Saudah meminta izin kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada waktu malam Muzdalifah untuk berangkat ke Mina sebelum berdesak-desakkannya manusia, yaitu dia perempuan yang berat kalau berjalan, sungguh kalau saya meminta izin kepadanya sungguh lebih saya sukai daripada orang yang dilapangkan. (Thabaqah Qubra 8/54).

Aisyah berkata: Aku tidak pernah melihat seorang perempuan yang paling saya ingin sekali menjadi dia daripada Saudah binti Zam’ah, ketika dia renta dia berikan gilirannya dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada Aisyah. (Shahih Muslim 2/1085).

Di antara keutamaan Saudah yaitu ketaatan dan kesetiaannya yang sangat kepada Rasulullah. Ketika haji wada’ Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda kepada para istri-istrinya: Ini yaitu ketika haji bagi kalian kemudian setelah ini hendaknya kalian menahan diri di rumah-rumah kalian, maka sepeninggal Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam, Saudah selalu di rumahnya dan tidak berangkat haji lagi hingga dia meninggal. (Sunan Abu Dawud 2/140).

Aisyah berkata: Sesudah turun ayat perihal hijab, keluarlah saudah di waktu malam untuk menunaikan hajatnya, dia yaitu perempuan yang perawakannya tinggi besar sehingga gampang sekali dibedakan dari perempuan lainnya pada ketika itu. Saat itu umar melihatnya dan berkata :wahai saudah demi Allah kami tetap bisa mengenalimu, maka lihatlah bagaimana engkau keluar, maka Saudah segera kembali dan menuju kepada Rasulullah yang pada waktu itu di rumah Aisyah, ketika itu Rasulullah sedang makan malam, di tangannya ada sepotong daging, maka masuklah Saudah seraya berkata kepadanya : Wahai Rasulullah, sebenarnya saya keluar untuk sebagai keperluanku dalam keadaan berhijab tetapi Umar menyampaikan ini dan itu, maka ketika itu turunlah wahyu kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan kemudian dia bersabda: Sesungguhnya telah diizinkan bagi kalian para perempuan untuk keluar menunaikan hajatmu.. (Shahih Bukhari dan Muslim).

Saudah terkenal juga dengan kezuhudannya, ketika umar mengirin kepadanya satu wadah berisi dirham, ketika hingga kepadanya maka dibagi-bagikannya (Thabaqah kubra 8/56 dan dishahihkan sanadnya oleh Ibnu Hajar dalam al-Ishobah 7/721).

Saudah termasuk gugusan istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang menjaga dan menyamapaikan sunnah-sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Hadits-haditsnya diriwayatkan oleh para imam yang terkemuka menyerupai Imam Ahmad, Imam Bukhari, Abu Dawud dan Nasa’i.

Saudah meninggal di final kekhalifahan Umar di Madinah pada tahun 54 Hijriyah. Sebelum dia meninggal dia mewariskan rumahnya kepada Aisyah. Semoga Allah meridhainya dan membalasnya dengan kebaikan yang melimpah.
Sumber :
- Buku Dzaujatur-Rasulullah, karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Sa’abu, Riyadh.


Comments