Asuransi


Islam mempunyai sebuah sistem yang bisa menunjukkan jaminan atas kecelakaan atau mushibah lainnya melalui sistem zakat. Bahkan sistem ini jauh lebih unggul dari asuransi konvensional, lantaran semenjak awal didirikan memang untuk kepentingan sosial dan proteksi kemanusiaan. Sehingga seseorang tidak harus mendaftarkan diri menjadi anggota dan juga tidak diwajibkan untuk membayar premi secara rutin. Bahkan jumah proteksi yang diterimanya tidak berkaitan dengan level seseorang dalam daftar peerta tetapi berdasarkan tingkat kerugian yang menimpanya dalam petaka tersebut.
Dana yang diberikan kepada setiap orang yang tertimpa petaka ini bersumber dari harta orang-orang kaya dan membayarkan kewajiban zakatnya sebagai salah satu rukun Islam. Di masyarakat luar Islam yang tidak mengenal sistem zakat, orang-orang berusaha untuk menciptakan sistem jaminan sosial, tetapi tidak pernah berhasil lantaran tidak bisa menggerakkan orang kaya membayar sejumlah uang tertentu kepada baitulmal sebagaimana di dalam Islam.

Yang tercipta justru sistem asuransi yang bergotong-royong tidak bernafaskan proteksi sosial tetapi perjuangan bisnis skala besar dengan tujuan untuk mendapat laba yang sebesar-besarnya. Sisi proteksi sosial lebih menjadi lips service (penghias) belaka sementara hakikatnya tidak lain merupakan pemerasan dan kerja rentenir.
Mekanisme asuransi konvensional yang mereka buat ini yaitu sebuah komitmen yang mengharuskan perusahaan asuransi untuk menunjukkan kepada pesertanya sejumlah harta saat terjadi tragedi maupun kecelakaan atau terbuktinya sebuah ancaman sebagaimana tertera dalam komitmen (transaksi), sebagai konsekuensi/imbalan uang (premi) yang dibayarkan secara rutin dari peserta. Makara asuransi merupakan salah satu cara pembayaran ganti rugi kepada pihak yang mengalami musibah, yang dananya diambil dari iuran premi seluruh akseptor asuransi.
Dari segi bentuk transaksi dan praktek ekonomi syariat Islam, asuransi konvensional hasil produk non Islam ini mengandung sekian banyak cacat syar`i, antara lain :
  1. Akad asuransi ini yaitu komitmen gharar lantaran masing-masing dari kedua belah pihak penanggung dan tertanggung pada waktu melangsungkan komitmen tidak mengetahui jumlah yang ia berikan dan jumlah yang ia ambil.
  2. Akad asuransi ini yaitu komitmen idz'an (penundukan) pihak yang berpengaruh yaitu perusahan asuransi lantaran dialah yang memilih syarat-syarat yang tidak dimiliki tertanggung.
  3. Mengandung unsur pemerasan, lantaran pemegang polis, apabila tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya, akan hilang premi yang sudah dibayar atau di kurangi.
  4. Pada perusahaan asuransi konvensional, uang masuk dari premi para akseptor yang sudah dibayar akan diputar dalam perjuangan dan bisnis dengan praktek ribawi.
  5. Asuransi termasuk jual-beli atau tukar menukar mata uang tidak tunai. 
Ikhtilaf sebagian ulama yang membolehkan asuransi
Ada beberapa pandangan atau pendapat mengenai asuransi ditinjau dari fiqh Islam. Yang paling mengemuka perbedaan tersebut terbagi tiga, yaitu:
a. Pendapat pertama : Mengharamkan
Asuransi itu haram dalam segala macam bentuknya, temasuk asuransi jiwa Pendapat ini dikemukakan oleh Sayyid Sabiq, Abdullah al-Qalqii (mufti Yordania), Yusuf Qardhawi dan Muhammad Bakhil al-Muth'i (mufti Mesir). Alasan-alasan yang mereka kemukakan ialah:
  • Asuransi sama dengan judi
  • Asuransi mengandung ungur-unsur tidak pasti.
  • Asuransi mengandung unsur riba/renten.
  • Asuransi mengandung unsur pemerasan, lantaran pemegang polis, apabila tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya, akan hilang premi yang sudah dibayar atau di kurangi.
  • Premi-premi yang sudah dibayar akan diputar dalam praktek-praktek riba.
  • Asuransi termasuk jual-beli atau tukar menukar mata uang tidak tunai.
  • Hidup dan mati insan dijadikan objek bisnis, dan sama halnya dengan mendahului takdir Allah.
b. Pendapat Kedua : Membolehkan
Pendapat kedau ini dikemukakan oleh Abd. Wahab Khalaf, Mustafa Akhmad Zarqa (guru besar Hukum Islam pada fakultas Syari'ah Universitas Syria), Muhammad Yusuf Musa (guru besar Hukum Isalm pada Universitas Cairo Mesir), dan Abd. Rakhman Isa (pengarang kitab al-Muamallha al-Haditsah wa Ahkamuha). Mereka beralasan: 
  • Tidak ada nash (al-Qur'an dan Sunnah) yang melarang asuransi. 
  • Ada kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak. 
  • Saling menguntungkan kedua belah pihak. 
  • Asuransi sanggup menanggulangi kepentingan umum, lantaran premi-premi yang terkumpul sanggup di investasikan untuk proyek-proyek yang produktif dan pembangunan. 
  • Asuransi termasuk komitmen mudhrabah (bagi hasil) 
  • Asuransi termasuk koperasi (Syirkah Ta'awuniyah). 
  • Asuransi di analogikan (qiyaskan) dengan sistem pensiun ibarat taspen. 
c. Pendapat Ketiga :
Asuransi sosial boleh dan komersial haram Pendapat ketiga ini dianut antara lain oleh Muhammad Abdu Zahrah (guru besar Hukum Islam pada Universitas Cairo). Alasan kelompok ketiga ini sama dengan kelompok pertama dalam asuransi yang bersifat komersial (haram) dan sama pula dengan alasan kelompok kedua, dalam asuransi yang bersifat sosial (boleh). 
Alasan golongan yang menyampaikan asuransi syubhat yaitu lantaran tidak ada dalil yang tegas haram atau tidak haramnya asuransi itu. Asuransi Syariah a. Prinsip Asuransi Syariah Suatu asuransi diperbolehkan secara syar'i, kalau tidak menyimpang dari prinsip-prinsip dan aturan-aturan syariat Islam. Untuk itu dalam muamalah tersebut harus memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut: 
  • Asuransi syariah harus dibangun atas dasar taawun (kerja sama ), tolong menolong, saling menjamin, tidak berorentasi bisnis atau laba bahan semata. Allah SWT berfirman," Dan saling tolong menolonglah dalam kebaikan dan ketaqwaan dan jangan saling tolong menolong dalam dosa dan permusuhan."
  • Asuransi syariat tidak bersifat mu'awadhoh, tetapi tabarru' atau mudhorobah. 
  • Sumbangan (tabarru') sama dengan hibah (pemberian), oleh lantaran itu haram hukumnya ditarik kembali. Kalau terjadi peristiwa, maka diselesaikan berdasarkan syariat. 
  • Setiap anggota yang menyetor uangnya berdasarkan jumlah yang telah ditentukan, harus disertai dengan niat membantu demi menegakan prinsip ukhuwah. Kemudian dari uang yang terkumpul itu diambilah sejumlah uang guna membantu orang yang sangat memerlukan. 
  • Tidak dibenarkan seseorang menyetorkan sejumlah kecil uangnya dengan tujuan semoga ia mendapat imbalan yang berlipat bila terkena suatu musibah. Akan tetepi ia diberi uang jamaah sebagai ganti atas kerugian itu berdasarkan izin yang diberikan oleh jamaah. 
  • Apabila uang itu akan dikembangkan, maka harus dijalankan berdasarkan aturan syar'i. 

B. Ciri-ciri Asuransi syari'ah 
Asuransi syariah mempunyai beberapa ciri utama : 
  1. Akad asuransi syari'ah yaitu bersifat tabarru', sumbangan yang diberikan dilarang ditarik kembali. Atau kalau tidak tabarru', maka andil yang dibayarkan akan berupa tabungan yang akan diterima kalau terjadi peristiwa, atau akan diambil kalau komitmen berhenti sesuai dengan kesepakatan, dengan tidak kurang dan tidak lebih. Atau kalau lebih maka kelebihan itu yaitu kentungan hasil mudhorobah bukan riba. 
  2. Akad asuransi ini bukan komitmen mulzim (perjanjian yang wajib dilaksanakan) bagi kedua belah pihak. Karena pihak anggota saat menunjukkan sumbangan tidak bertujuan untuk mendapat imbalan, dan kalau ada imbalan, sesungguhnya imbalan tersebut didapat melalui izin yang diberikan oleh jama'ah (seluruh akseptor asuransi atau pengurus yang ditunjuk bersama). 
  3. Dalam asuransi syari'ah tidak ada pihak yang lebih berpengaruh lantaran semua keputusan dan aturan-aturan diambil berdasarkan izin jama'ah ibarat dalam asuransi takaful. 
  4. Akad asuransi syari'ah higienis dari gharar dan riba. 
  5. Asuransi syariah bernuansa kekeluargaan yang kental. 
C. Perbedaan asuransi syariah dan konvensional. 
Dibandingkan asuransi konvensional, asuransi syariah mempunyai perbedaan fundamental dalam beberapa hal. 
  1. Prinsip komitmen asuransi syariah yaitu takafuli (tolong-menolong). Dimana nasabah yang satu menolong nasabah yang lain yang tengah mengalami kesulitan. Sedangkan komitmen asuransi konvensional bersifat tadabuli (jual-beli antara nasabah dengan perusahaan). 
  2. Dana yang terkumpul dari nasabah perusahaan asuransi syariah (premi) diinvestasikan berdasarkan syariah dengan sistem bagi hasil (mudharabah). Sedangkan pada asuransi konvensional, investasi dana dilakukan pada sembarang sektor dengan sistem bunga. 
  3. Premi yang terkumpul diperlakukan tetap sebagai dana milik nasabah. Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya. Sedangkan pada asuransi konvensional, premi menjadi milik perusahaan dan perusahaan-lah yang mempunyai otoritas penuh untuk menetapkan kebijakan pengelolaan dana tersebut. 
  4. Bila ada akseptor yang terkena musibah, untuk pembayaran klaim nasabah dana diambilkan dari rekening tabarru (dana sosial) seluruh akseptor yang sudah diikhlaskan untuk keperluan tolong-menolong. Sedangkan dalam asuransi konvensional, dana pembayaran klaim diambil dari rekening milik perusahaan. 
  5. Keuntungan investasi dibagi dua antara nasabah selaku pemilik dana dengan perusahaan selaku pengelola, dengan prinsip bagi hasil. Sedangkan dalam asuransi konvensional, laba sepenuhnya menjadi milik perusahaan. Jika tak ada klaim, nasabah tak memperoleh apa-apa. 
  6. Adanya Dewan Pengawas Syariah dalam perusahaan asuransi syariah yang merupakan suatu keharusan. Dewan ini berperan dalam mengawasi manajemen, produk serta kebijakan investasi semoga senantiasa sejalan dengan syariat Islam. Adapun dalam asuransi konvensional, maka hal itu tidak mendapat perhatian. 

Comments