Secara bahasa hawalah atau hiwalah bermakna berpindah atau berubah. Dalam hal ini terjadi perpindahan tanggungan atau hak dari satu orang kepada orang lain. Dalam istilah para fukoha hawalah yaitu pemindahan atau pengalihan penagihan hutang dari orang yang berhutang kepada orang yang menanggung hutang tersebut. Batasan ini sanggup digambarkan sebagai berikut. Misalnya A meminjamkan sejumlah uang kepada B dan B sebelumnya telah meminjamkan sejumlah uang kepada C. Untuk lebih menyederhanakan persoalan, kita asumsikan bahwa hutang C pada B sama jumlahnya dengan hutang B pada A. Ketika A menagih hutang kepada B, ia menyampaikan kepada A bahwa ia mempunyai piutang yang sama pada C. Karena itu B memberitahukan kepada A dan ia sanggup menagihnya kepada C dengan catatan ketiga-tiga orang itu menyepakati perjanjian hawalah dahulu.
2. Landasan Syariah Akad Hawalah
Pengalihan penagihan hutang ini dibenarkan oleh syariah dan telah dipraktekkan oleh kaum Muslimin dari zaman Nabi Muhammad ZAW hingga sekarang. Dalam al-Qur'an kaum Muslimin diperintahkan untuk saling tolong menolong satu sama lain, lihat al-Qur'an : 5: 2. Akad hawalah merupakan suatu bentuk saling tolong menolong yang merupakan manifestasi dari semangat ayat tersebut.
a. As-Sunnah.
Rasulullah SAW bersabda : " Menunda-nunda pembayaran hutang dari orang yang bisa membayarnya yaitu perbuatan zalim. Dan apabila salah seorang dari kau dipindahkan penagihannya kepada orang lain yang mampu, hendaklah ia menerima." H. R. Ahmad dan Abi Syaibah. Semangat yang dikandung oleh hadis ini menawarkan perintah yang wajib diterima oleh orang yang dipindahkan penagihannya kepada orang lain. Karena itu berdasarkan Imam Ahmad dan Dawud adh-Dhohiri orang yang dipindahkan hak penagihannya wajib mendapatkan janji hawalah. Hanya saja jumhur ulama tidak mewajibkan hal itu dan menakwilkan kata perintah dalam hadis ini mempunyai kedudukan aturan sunnah atau dianjurkan saja, bukan sebagai suatu kewajiban yang harus diikuti.
b. Ijma'
Pada prinsipnya para ulama telah sepakat dibolehkannya janji hawalah ini. Hawalah yang mereka sepakati yaitu hawalah dalam hutang piutang bukan pada barang konkrit.
3. Rukun Hawalah
Menurut madzhab Hanafi rukun hawalah ada dua yaitu ijab yang diucapkan oleh Muhil dan qobul yang diucapkan oleh Muhal dan Muhal alaih. Sedangkan berdasarkan jumhur ulama rukun hawalah ada enam macam yaitu:
a. Muhil ( orang yang memindahkan penagihan yaitu orang yang berhutang).
b. Muhal ( orang yang dipindahkan hak penagihannya kepada orang lain yaitu orang yang mempunyai piutang).
c. Muhal alaih ( orang yang dipindahkan kepadanya objek penagihan).
d. Muhal bih (hak yang dipindahkan yaitu hutang).
e. Piutang Muhil pada Muhal alaih.
f. Shighot.
Dalam referensi di atas Muhil yaitu B, Muhal yaitu A dan Muhal alaih yaitu C. Dalam janji hawalah Ijab yang diucapkan oleh Muhil mengandung pengertian pemindahan hak penagihan, umpamanya ia berkata kepada A : Aku pindahkan (hawalahkan) hak penagihanmu terhadap hutang saya kepada C. Sementara itu A dan C menyetujui dengan mengucapkan " Kami setuju". Dengan demikian janji hawalah tersebut sanggup dilaksanakan dengan masing-masing pihak puas dan rela.
4. Syarat-Syarat Hawalah
Persyaratan hawalah ini berkaitan dengan Muhil, Muhal, Muhal Alaih dan Muhal Bih. Berkaitan dengan Muhil, ia disyaratkan harus, pertama, berkemampuan untuk melaksanakan janji (kontrak). Hal ini hanya sanggup dimiliki jikalau ia berilmu dan baligh.
Hawalah tidak sah dilakukan oleh orang gila dan anak kecil lantaran tidak bisa atau belum sanggup dipandang sebagai orang yang bertanggung secara hukum. Kedua, kerelaan Muhil. Ini disebabkan lantaran hawalah mengandung pengertian kepemilikan sehingga tidak sah jikalau ia dipaksakan.
Di samping itu persyaratan ini diwajibkan para fukoha terutama terutama untuk meredam rasa kekecewaan atau ketersinggungan yang mungkin dirasakan oleh Muhil saat diadakan janji hawalah.
Persyaratan yang berkaitan dengan Muhal. Pertama, Ia harus mempunyai kemampuan untuk melaksanakan kontrak. Ini sama dengan syarat yang harus dipenuhi oleh Muhil. Kedua, kerelaan dari Muhal lantaran tidak sah jikalau hal itu dipaksakan. Ketiga, ia bersedia mendapatkan janji hawalah.
Persyaratan yang berkaitan dengan Muhal Alaih. Pertama, sama dengan syarat pertama bagi Muhil dan Muhal yaitu berilmu dan balig. Kedua, kerelaan dari hatinya lantaran dihentikan dipaksakan. Ketiga, ia mendapatkan janji hawalah dalam majlis atau di luar majlis.
Persyaratan yang berkaitan dengan Muhal Bih. Pertama, ia harus berupa hutang dan hutang itu merupakan tanggungan dari Muhil kepada Muhal. Kedua, hutang tersebut harus berbentuk hutang lazim artinya bahwa hutang tersebut hanya bisa dihapuskan dengan pelunasan atau penghapusan.
5. Jenis-jenis Hawalah
Ada dua jenis hawalah yaitu hawalah muthlaqoh dan hawalah Muqoyyadah.
Hawalah Muthlaqoh
Hawalah Muthlaqoh terjadi jikalau orang yang berhutang (oarang pertama) kepada orang lain ( orang kedua) mengalihkan hak penagihannya kepada pihak ketiga tanpa didasari pihak ketiga ini berhutang kepada orang pertama. Jika A berhutang kepada B dan A mengalihkan hak penagihan B kepada C, sementara C tidak punya hubungan hutang pituang kepada B, maka hawalah ini disebut Muthlaqoh. Ini hanya dalam madzhab Hanafi dan Syi'ah sedangkan jumhur ulama mengklasifikasikan jenis hawalah ini sebagai kafalah.
Hawalah Muqoyyadah terjadi jikalau Muhil mengalihkan hak penagihan Muhal kepada Muhal Alaih lantaran yang terakhir punya hutang kepada Muhal.
Hawalah Haq
Hawalah ini yaitu pemindahan piutang dari satu piutang kepada piutang yang lain dalam bentuk uang bukan dalam bentuk barang. Dalam hal ini yang bertindak sebagai Muhil yaitu pemberi utang dan ia mengalihkan haknya kepada pemberi hutang yang lain sedangkan orang yang berhutang tidak berubah atau berganti, yang berganti yaitu piutang. Ini terjadi jikalau piutang A mempunyai hutang kepada piutang B.
Hawalah Dayn
Hawalah ini yaitu pemindahan hutang kepada orang lain yang mempunyai hutang kepadanya. Ini berbeda dari hawalah Haq. Pada hakekatnya hawalah dayn sama pengertiannya dengan hawalah yang telah diterangkan di depan.
6. Kedudukan Hukum Hawalah
Pertama, jikalau hawalah telah disetujui oleh semua pihak maka tanggungan Muhil menjadi gugur dan ia kini bebas dari penagihan utang. Demikian berdasarkan jumhur ulama. Kedua, dengan ditandatanganinya janji hawalah, maka hak penagihan Muhal ini telah dipindahkan kepada Muhal alaih. Dengan demikian ia mempunyai wilayah penagihan kepadanya.
7. Berakhirnya Akad Hawalah
Akad hawalah akan berakhir oleh hal-hal berikut ini.
a. Karena dibatalkan atau fasakh. Ini terjadi jikalau janji hawalah belum dilaksanakan hingga tahapan final kemudian difasakh. Dalam keadaan ini hak penagihan dari Muhal akan kembali lagi kepada Muhil.
b. Hilangnya hak Muhal Alaih lantaran meninggal dunia atau gulung tikar atau ia mengingkari adanya janji hawalah sementara Muhal tidak sanggup menghadirkan bukti atau saksi.
c. Jika Muhal alaih telah melaksanakan kewajibannya kepada Muhal. Ini berarti janji hawalah benar-benar telah dipenuhi oleh semua pihak.
d. Meninggalnya Muhal sementara Muhal alaih mewarisi harta hawalah lantaran pewarisan merupakah salah satu alasannya yaitu kepemilikan. Jika janji ini hawalah muqoyyadah, maka berakhirlah sudah janji hawalah itu berdasarkan madzhab Hanafi.
e. Jika Muhal menghibahkan harta hawalah kepada Muhal Alaih dan ia mendapatkan hibah tersebut.
f. Jika Muhal menyedekahkan harta hawalah kepada Muhal alaih. Ini sama dengan alasannya yaitu yang ke 5 di atas.
g. Jika Muhal menghapusbukukan kewajiban membayar hutang kepada Muhal Alaih.
Comments