Hak Cipta


Secara umum, hak atas suatu karya ilmiyah, hak atas merek dagang dan logo dagang merupakan hak milik yang keabsahaannya dilindungi oleh syariat Islam. Dan merupakan kekayaan yang menghasilkan pemasukan bagi pemiliknya. Dan khususunya di masa sekarang merupakan `urf yang diakui sebagai jenis dari suatu kekayaan dimana pemiliknya berhak atas semua itu. Boleh diperjual-belikan dan merupakan komoditi. (lihat Qoror Majma` Al-Fiqh Al-Islami no.5 pada Muktamar kelima 10-15 Desember 1988 di Kuwait).
Namun dalam prakatek kesehariannya, ada juga hal-hal yang perlu diperhatikan selain demi kemashlahatan para pemilik hak cipta itu, yaitu hak para konsumen yang ternyata juga terhalang haknya untuk mendapat karya yang seharusnya.
Diantara pokok masalah itu antara lain :

1. Hak Cipta
Bila ditelusuri dalam sejarah Islam, hak cipta atas karya ilmiyah berupa goresan pena maupun inovasi ilmiyah memang belum ada. Saat itu para ulama dan ilmuwan berkarya dengan tujuan satu, yaitu mencari ridha Allah SWT.?
Semakin banyak orang mengambil manfaat atas karyanya, semakin berbahagia-lah dia, sebab dia melihat karyanya itu berkhasiat buat orang lain. Dan semua itu selain mendatangkan pahala buat pembuatnya, juga ada rasa kepuasan tersendiri dari segi psikologisnya. Apa yang mereka lakukan atas karya-karya itu jauh dari motivasi bahan / uang. Sedangkan untuk penghasilan, para ulama dan ilmuwan bekerja memeras keringat. Ada yang jadi pedagang, petani, penjahit dan seterusnya. Mereka tidak mengakibatkan karya mereka sebagai tambang uang.
Karena itu kita tidak pernah mendengar bahwa Imam Bukhori menuntut seseorang sebab dianggap menjiplak hasil keringatnya selama bertahun-tahun mengembara keliling dunia. Bila ada orang yang menyalin kitab shohihnya, maka dia malah berbahagia.?
Begitu juga kalau Jabir Al-Hayyan melihat orang-orang memalsukan / menjiplak hasil inovasi ilmiyahnya, maka dia akan semakin gembira dikarenakan telah menjadi orang yang bermanfaat buat sesamanya.
Hak cipta barulah ditetapkan dalam masyarakat barat yang mengukur segala sesuatu dengan ukuran materi. Dan didirikan forum untuk mematenkan sebuah `penemuan` dimana orang yang mendaftarkan akan berhak mendapat royalti dari siapa pun yang memalsukan / menciptakan sebuah formula yang dianggap menjiplak.
Kemudian hal itu menjalar pula di tengah masyarakat Islam dan risikonya dimasa ini, kita mengenalnya sebagai kepingan dari kekayaan intelektual yang dimiliki haknya sepenuhnya oleh penemunya.
Berdasarkan `urf yang dikenal masyarakat dikala ini, maka para ulama pada hari ini ikut pula mengabsahkan kepemilikan hak cipta itu sebagaimana qoror dari majelis Majma` Al-Fiqh Al-Islami di atas.
2. Monopoli Produk
Dalam perkembangan berikutnya, hak cipta dan hak paten ini berkembang kearah monopoli produk. Karena begitu sebuah perusahaan memegang hak paten atas formula produknya, secara aturan hanya mereka yang berhak untuk memproduksi barang tersebut atau memperlihatkan lisensi.?
Dan otomatis, mereka pulalah yang menentukan harga jualnya. Bila ada orang yang menjual produk yang sama tanpa lisensi dari pihak pemegang paten, maka kepada mereka hanya ada dua pilihan, bayar royalti atau dieksekusi baik tidak boleh berproduksi, didenda atau aturan kurungan.
Masalahnya timbul kalau pemegang paten merupakan perusahaan satu-satunya yang memproduksi barang tersebut di tengah masyarakt dan tidak ada alternatif lainnya untuk mendapat barang dengan kualitas sama, padahal barang itu merupakan hajat hidup orang banyak. Bila pemegang hak paten itu kemudian memutuskan harga yang mencekik dan tidak terjangkau atas barang yang diperlukan oleh masyarakat banyak, maka terang telihat unsur ketidak-adilannya. Dengan kata lain, produsen itu ingin mencekik masyarakat sebab mereka tidak punya pilihan lain kecuali membeli dengan harga yang jauh di atas kemampuan mereka.
Kasus pematenan pembuatan tempe beberapa waktu yang kemudian oleh pihak absurd yaitu teladan hal yang naif perihal dampak negatif pematenan ini. Bagaimana mungkin tempe yang entah sudah berapa generasi menjadi makanan orang Indonesia, tiba-tiba dipatenkan oleh orang dari luar negeri atas namanya.
Jadi kalau nanti ada orang Indonesia menciptakan pabrik tempe yang besar dan bisa mengekspor, harus siap-siap diklaim sebagai pembajak oleh mereka. Karena patennya mereka yang miliki. Bayangkan bahwa setiap satu potong tempe yang kita makan, sekian persen dari harganya masuk ke kantong pemegang paten. Padahal mereka barangkali pemegang paten itu sendiri tidak pernah makan tempe atau tidak doyan tempe. Dalam masalah ibarat ini, bagaimana mungkin kita dikatakan sebagai pencuri hasil karya mereka ? Padahal tempe yaitu makanan kebangsaan kita, bukan ?
3. Pengkopian Di Era Digital
Di zaman industri maju dikala ini, pengcopy-an sebuah karya apapun bentuknya yaitu kerja yang sangat gampang dan murah. Apalagi kalau kita bicara tekonologi digital.
Saat ini meski banyak undang-undang telah dibentuk untuk membela pemilik copy right, pengcopy-an semua bentuk isu dalam format digital yaitu sebuah keniscayaan. Silahkan perhatiakan semua peralatan elektronik di sekeliling kita.
Semua PC dilengkapi dengan floppy disk dan sekarang CDRW sudah sangat memasyarakat, sarana paling gampang untuk meng-copy. Radio Tape dan VCR yang ada di rumah-rumah pun dilengkapi dengan tombol [rec] untuk merekam. Mesin photo copy dijual secara resmi dan itu yaitu sarana pencopyan paling populer. Koran dan majalah sekarang terbit di Internet dimana seluruh orang sanggup mem-browse, yang secara teknik semua yang telah dibrowse itu pasti tercopy secara otomatis ke PC atau ke Hardisk.
Artinya secara tekonologi, kemudahan untuk mengcopy suatu isu pada sebuah media memang tersedia dan menjadi kelaziman. Dan pengcopy-an yaitu sebuah hal yang tidak mungkin dihindari.
Bila dikaitkan dengan undang-undang hak cipta yang bunyinya cukup 'galak', semua itu menjadi tidak berarti lagi. Atau silahkan buka buku dan simaklah di halaman paling awal : "Dilarang keras menterjemahkan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit".
Itu artinya anda tidak boleh mempotocopy sebuah buku walau pun hanya setengah halaman saja. Tapi lihatlah gugusan kios photo copy yang tersebar di seluruh negeri, bukankah diantara kerja mereka yaitu mempotocopy buku (sebagian atau seluruhnya) ?
4. Bentuk Pengcopy-an.
Sesungguhnya para produsen produk digital sudah yakin bahwa pengcopy-an ibarat itu tidak mungkin diberantas. Dan secara neraca keuangan, kalau ada seorang mencopy sebuah agenda / software untuk dirinya, tidak akan berpengaruh.
Yang bahwasanya ingin dihindari yaitu pengcopy-an secara massal untuk dijual lagi kepada konsumen. Bentuk inilah yang diistilahkan dengan pembajakan hak cipta. Dan memang untuk itulah undang-undang hak cipta dibentuk untuk melindungi pordusen dari kerugian. Selain itu untuk menghindari pembajakan massal itu, mereka juga sudah mempunyai taktik jitu, yaitu dengan menurunkan harga serendah-rendahnya mendekati harga produk bajakan.
Itu bisa dilihat kalau kita bandingkan VCD original dan bajakan yang sekarang harganya tidak terpaut jauh, sedangkan dari segi kualitas bunyi dan gambar, tenju saja sangat berbeda jauh. Buat konsumen yang normal, pasti mereka lebih menentukan VCD original ketimbang menonton versi bajakan yang di dalamnya ada gambar penonton keluar masuk, bersuara berisik atau layar yang berbentuk trapesium.
Tetapi kenapa pembajakan itu timbul ? Salah satu penyebabnya barangkali `ketakamakan` produsen sendiri yang memasang harga terlalu tinggi antara biaya dan harga jual di pasar. Bila VCD bajakan bisa dijual seharga Rp. 3.000,- perkeping, mengapa dulu VCD original mematok harga sampai Rp. 50.000,-. Ini terang terlalu tinggi.
Maka masuk akal kalau mereka sendiri yang kena getahnya dengan adanya pembajakan. Sekarang mereka sadar, dalam dunia digital, tidak mungkin mengambil laba dengan memark-up harga jual, tetapi justru dengan memproduk barang sebanyak-banyaknya kemudian menjual semurah-murahnya sehingga mengundang jumlah pembeli yang lebih banyak. Dengan cara ini maka pembajakan masal sudah tentu mati kutu.
Kesimpulan :
Kembali ke masalah hukum, maka menimbang duduk kasus di atas, kalau seseorang mengcopy sebuah agenda khusus untuk langsung sebab harganya tidak terjangkau sementara isinya sangat vital dan menjadi hajat hidup orang banyak, maka banyak ulama yang memperlihatkan keringanan. Namun kalau seseorang membeli mesin pengcopy massal kemudian `membajak` agenda tersebut secara massal dimana anda akan mendapat keuntungan, disitulah letak keharamannya.
Hukum Islam sendiri pada hari ini mengakui ada hak cipta sebagai hak milik atau kekayan yang harus dijaga dan dilindungi. Dan membajak atau menjiplak hasil karya orang lain termasuk kepingan dari pencurian atau tindakan yang merugikan hak orang lain. Hukum Islam memungkinkan dijatuhkannya vonis bersalah atas orang yang melaksanakan hal itu dan menjatuhinya dengan sanksi yang berlaku di suatu sistem hukum.
Namun memang patut disayangkan bahwa sebagian umat Islam masih belum terlalu sadar benar masalah hak cipta ini, sehingga justru di negeri yang paling banyak jumlah muslimnya ini, kasus-kasus pembajakan hak cipta sangat tinggi angkanya. Barangkali sebab masalah hak cipta ini memang masih dianggap terlalu gres dan kurang banyak dibahas pada kitab-kitab fiqih masa lampau. 

Comments