ANAK TIDAK SELALU SEPERTI BAPAKNYA

KETIKA PROPOSAL TIDAK DISETUJUI
ونادى نوح ربه فقال رب إن ابني من اهلي وان وعدك الحق وانت احكم الحكمين
قال ينوح انه ليس من اهلك انه عمل غير صالح فلا تسألن ما ليس لك به علم اني اعظك ان تكون من الجهلين
Ayat di atas merupakan sebagian dari kisah nabi Nuh as. Ayat-ayat sebelum kisah ini menceritakan tentang orang kafir yang mana mereka tidak mampu lolos dari azab Allah ta'ala dan tidak ada seseorang yang mampu menyelamatkannya.

Pada kisah nabi Nuh as. Ini menceritakan anak beliau yang tidak mau beriman dan akhirnya tidak selamat dari azab Allah ta'ala meskipun nabi Nuh as.
telah memohon kepada Allah ta'ala untuk keselamatan anaknya. Dari aspek ini bisa dilihat adanya munasabah pada ayat tersebut.

Nabi Nuh as. menyatakan bahwa anaknya adalah bagian dari ahlinya dengan mengatakan innabni min ahli, akan tetapi Allah ta'ala menepisnya dengan menjawab innahu laisa min ahlik. Bila kita cermati Allah ta'ala hanya menafikan predikat keahlian bukan predikat sebagai anak. Berarti mengakui jika dia anaknya tapi bukan ahlinya. Terus bagaimana mungkin seorang anak tidak dianggap ahlinya?. Allah ta'ala mengungkapkan sebuah alasan yang sangat kuat yaitu innahu 'amalun ghoiru sholih yang artinya dia bukanlah orang yang beramal sholih. Berarti kriteria ahli menurut nabi Nuh as. tidak sama dengan kriteria ahli menurut Allah ta'ala. Secara tidak langsung Allah mengakui bahwa anaknya menjadi ahli dalam nasab tetapi tidak menjadi ahli dalam amal perbuatan.
Pada ayat sebelumnya Allah ta'ala memerintahkan nabi Nuh as. untuk membawa ahlinya masuk dalam perahu dan di situ terdapat keselamatan. Oleh karena itu beliau ingin mengajukan permohonan kepada Allah ta'ala tentang keselamatan anaknya dengan mendaftarkannya sebagai ahlinya dengan alasan memiliki faktor nasab.
Namun Allah ta'ala menegaskan bahwa syarat pendaftaran adalah amal solih bukan garis keturunan.

Dari kisah di atas bisa kita mengerti bahwa anak nabi Nuh as. tidak dianggap ahlinya karena tidak memiliki amal solih seperti bapaknya meskipun dia memiliki garis keturunan. Begitu juga bisa dipahami bahwa standar kebaikan seseorang adaalah ketika memiliki perbuatan yang sejalan dengan agama.
Bukan ketika melenceng dari garis agama kemudian dibenarkan dengan dalih faktor keturunan, dan terkesan nasab hanya dibuat tameng dan benteng.

Sehingga jika disimpulkan akan menjadi sebuah kaidah yang berbunyi:
لا يلزم من الأهلية في النسب الأهلية في العمل
Artinya menjadi ahli dalam nasab belum tentu menjadi ahli dalam amal perbuatan.
Allahu ta'ala yaj'aluna min ahlil khoir wassa'adah

Comments