TELUR ATAU AYAM, MANA YANG LEBIH DULU? (SEBAB ATAU MUSABBAB)

TELUR ATAU AYAM, MANA YANG LEBIH DULU?

إن يزينك لنفسك وإن يشينك لهيه
Istilah di atas kita pahami sebagai teori untuk memahami tentang posisi sesuatu apakah menjadi sebab atau musabbab. Karena ketika kita salah dalam memposisikan maka kita akan salah dalam pemahaman selanjutnya.
 Jika kita biarkan istilah tersebut maka akan timbul kesan bahwa masing-masing dari keduanya akan menjadi sebab dan musabbab. Hal ini dikenal dengan sebutaan "daur" yaitu saling ketergantungan dari dua hal yang menimbulkan keduanya menyandang predikat ganda.

Contoh, fulan A menjadi bapak dari fulan B yang sekaligus fulan B menjadi bapak dari fulan A. Berarti fulan A menjadi anak dan bapak dari fulan B, begitu juga sebaliknya. Secara hukum 'aqli (rasional) hal tersebut dianggap sebagai sesuatu yang mustahil. Kecuali fulan B menjadi anak dari fulan A dan menjadi bapak dari fulan C, maka hal ini boleh karena tidak terjadi predikat ganda dalam satu hubungan.

Mari kita lanjutkan pembahasan. Seseorang dipanggil ustadz (gelar yang lain bisa diqiyaskan) disebabkan memiliki kebaikan yang berupa ilmu dan amal sholeh atau panggilan ustad tersebut yang menyebabkan dia memiliki ilmu dan amal sholeh. Artinya jika ada orang bodoh dan jahat kemudian masyarakat memanggilnya ustadz maka apakah panggilan ini akan merubah dia menjadi alim dan sholeh ataukah kealiman dan kesalehan yang menyebabkan masyarakat memanggilnya ustadz,
mana sebab dan mana musabbab?

Seorang dipanggil penjahat disebabkan karena perbuatan jahatnya ataukah panggilan tersebut yang menyebabkan dia menjadi jahat? Artinya jika ada orang pinter agama dan rajin ibadah kemudian masyarakat memanggilnya penjahat apakah panggilan ini akan merubah dia menjadi perampok dan pemabuk ataukah karena seseorang menjadi pemabuk dan perampok akhirnya masyarakat memanggilnya penjahat, mana sebab mana musabbab?

Jika panggilan yang menjadi sebab tentu kita akan mudah dalam berdakwah. Yaitu jika ketemu dengan orang yang belum baik maka kita panggil mereka dengan predikat kebaikan maka panggilan itu akan merubah dia menjadi baik.
Begitu juga akan dimanfaatkan oleh penebar kebencian. Jika benci terhadap ulama (ahlil ilmi wal'amal) maka dia cukup memanggil ulama yang dibenci dengan pemabuk akhirnya ulama itu menjadi pemabuk. Benarkah panggilan yang menjadi sebab?

Jika amal perbuatan yang menyebabkan adanya predikat dan panggilan tentu ketika ada seseorang yang sudah berlabel ustadz (sekedar contoh) melakukan sesuatu yang kurang tepat bolehkah dibela dengan cara membenarkan perbuatannya memakai sebuah predikat dan panggilan ustadz?
Begitu juga jika ada orang yang sudah dikenal jahat lalu dia bertaubat (secara rahasia) dan disertai amal sholeh apakah kita sebut sebagai pencitraan karena adanya predikat negatif yang sudah melekat, bolehkah amal perbuatan menjadi sebab adanya sebuah predikat dan panggilan, baik ataupun buruk?

Dalam al-Quran banyak kita temukan term seperti al-Muttaqin dan al-Muhsinin begitu juga seperti al-Kafirin dan al-Fasiqin. Istilah-istilah ini berlaku sebagai predikat bukan sebagai nama.

Artinya, menurut al-Quran seseorang disebut Muhsin ketika dia berbuat ihsan bukan karena bernama Muhsin meskipun ada orang yang berbuat ihsan juga bernama Muhsin. Begitu juga sebaliknya seseorang disebut fasiq karena perbuatannya meskipun dia memiliki nama yang baik. Dari sini bisa dipahami bahwa tidaklah sebuah predikat akan memunculkan sebuah kepribadian akan tetapi kepribadian yang menyebabkan sebuah predikat.

Makna dari pepatah di atas adalah sesungguhnya yang menghiasi dirimu adalah kepribadianmu(yang baik) dan kepribadianmu(yang buruk) juga yang mencemarkan dirimu.
Allahu Ta'ala A'lam bish showab.

Comments