Kontroversi Pengangkatan Ratu Pertama dari Tanah Serambi Mekah, Sulthanah Shafiatuddin



Apa jadinya jika sebuah kerajaan Islam dipimpin oleh seorang pemimpin berjenis kelamin perempuan atau seorang ratu? Tentu menakjubkan. Siapa yang menyangka bahwa serambi Mekah atau Aceh memiliki seorang nakhoda perempuan pertama yaitu Sultanah Shafiatuddin.
Perannya sebagai pemimpin cukup kontroversial di Kerajaan Aceh Darusaalam kala itu terlebih setelah suaminya meninggal dunia. Sultan Iskandar Tsani (suami Sultanah Shafiatuddin) merupakan raja dari Kerajaan Aceh Darussalam. Karena beliau tidak memiliki putra mahkota ataupun pengganti laki-laki dari keluarga terdekat, maka Ratu Shafiatuddin Syah dipertimbangkan untuk diangkat sebagai Sulthanah di kerajaan tersebut.

Perdebatan boleh atau tidaknya seorang pemimpin perempuan dalam Islam terjadi saat pengangkatan sang Sulthanah. Beberapa kelompok tidak menyetujui adanya pemimpin perempuan. Aksi pemberontakan berulang kali terjadi. begitu juga dengan usaha pengkhianatan yang ingin menurunkan sang ratu dari tahtanya.
Kondisi ini bertambah berat ketika sanga Sulthanah harus menghadapi ancaman kolonialisme dari pihak VOC Belanda setelah perusahaan besar tersebut berhasil menduduki Malaka dari Portugis di awal tahun 1641.

Di lain pihak, pengangkatan Ratu Shafiatuddin bukan tanpa alasan. Dirinya dianggap layak menduduki tahta Kerajaan Aceh Darussalam sepeninggal suaminya karena dia memiliki visi yang cemerlang dalam menyebarkan agama Islam. Tidak hanya itu, Ratu Shafiatuddin juga aktif mengembangkan seni dan budaya di tanah rencong.
Kepemimpinannya pun tak kalah unggul dengan raja-raja sebelumnya. Ketika terajdi Perang Malaka pad atahun 1639, Sulthanah Shafiatuddin mampu menciptakan barisan para wanita untuk memperkokoh benteng istana. Kebijakan-kebijakannya dinilai memiliki dampak positif.

Masa suram kepemimpinan sang suami, Sultan Iskandar Tsani, berakhir di tangan Sulthanah Shafiatuddin. Salah satu kebijakannya yang terkenal adalah memberikan hadiah berupa tanah kepada pahlawan yang berjasa di medan peperangan. Hukum adat istiadat kembali tegak. Dari sinilah muncul pengembangan ilmu pengetahuan, kesenian dan kebudayaan pada masa kepemimpinannya.
Di samping itu, Sulthanah Shafiatuddin sukses mempertahankan hubungan diplomasi dengan kerajaan-kerajaan yang lainnya sehingga nama kerajaannya terjaga. Kerajaan Aceh mengalami kemajuan yang cukup menggembirakan dalam bidang agama, hukum, ekonomi, dan ilmu pengetahuan.

Setelah 34 tahun kepemimpinannya, Sultanah Safiatudin turun tahta dan meninggal pada tahun 1675. Setelah sang ratu wafat, Aceh seperti mengalami revolusi pemikiran tentang kepemimpinan. Karena Sulthanah tak memiliki pewaris tahta, dia mengangkat 3 orang perempuan tangguh yang berhasil memipin Kerajaan Aceh Darussalam selama 24 tahun. 3 pemimpin perempuan tersebut yaitu Sulthanah Naqi al-Din Nur al-Alamm Sultanah Zaqi al Din Inayat Syah dan Sultanah Kamalat Syah Zinat al Din.

Meskipun semuanya tak mencapai kejayaan kepemimpinan seperti Sulthanah Shafiatuddin, namun Aceh menerapkan syariat Islam yang ketat di bawah kepemimpinan ketiganya. Bahkan, Serambi Mekkah masih menyimpan banyak lagi tokoh-tokoh perempuan yang membanggakan setelah munculnya pengangkatan ratu.

Comments