Kumpulan Hikmah Atau Wejangan Sunan Katong

Bathara Katong yaitu salah satu leluhur Kaliwungu asal Ponorogo yang berbagi agama Islam di Kaliwungu. Di Kaliwungu, Bathara Katong lebih dikenal dengan nama Sunan Katong, sedangkan di kawasan Kendal kota Bathara Katong lebih dikenal dengan nama Sunan Ampel. Sebelum dia tiba ke Kaliwungu, dia tiba ke kawasan Kendal kota tepatnya di Ampel Kulon dan mempunyai padepokan Ampelgading. Setelah berbagi agama Islam di Kendal, kemudian dia tiba ke Kaliwungu (pada ketika itu belum dinamakan Kaliwungu) dan menentukan pegunungan Penjor.

Menurut dongeng tutur masyarakat Kaliwungu yang telah dibukukan berjudul Wali-Wali Mataram Kendal Sunan Katong dan Pakuwaja ditulis oleh Rochani bahwa perkelahian antara Sunan Katong dan Pakuwaja menjadi penyebab lahirnya nama Kaliwungu, sehingga dalam hal ini masyarakat Kaliwungu meyakini bahwa Bathara Katong merupakan sosok historis yang pernah hidup di dunia ini, namun kalau dipahami lebih dalam wacana dongeng Bathara Katong di Kaliwungu yang banyak mengandung simbol atau pralambang, tidak berlebihan kalau Bathara Katong hanyalah sosok simbolis. Ada kemungkinan bahwa maksud dari anutan Bathara Katong merupakan anutan leluhur Kaliwungu yang dipersonifikasikan dengan nama Bathara Katong.

Ajaran Sunan Katong

Ajaran Bathara Katong/Sunan Katong/Sunan Ampel mempunyai dua bentuk anutan yaitu: a) tradisi ekspresi yang berupa shalawat macan putih dan wejangan Bathara Katong; dan b) tradisi bukan ekspresi yang berupa blantenan dan khaul. Dahulu masyarakat Kaliwungu menjalankan anutan Bathara Katong tersebut secara rutin sehingga pada karenanya Kaliwungu menerima penghargaan sebagai Kota Santri.

Shalawat Macan Putih

Shalawat merupakan salah satu cara dalam agama Islam yang bertujuan untuk pujian/memuji kekuasaan Allah dan akreditasi diri bahwa nabi Muhammad yaitu utusan Allah serta bentuk salam penghormatan untuk nabi Muhammad. Dalam kitab Irsyadul Ibad (kitab shalawat/hadits) yang dikarang oleh Syaikh Zaenudin bin Abdul Azis diterangkan bahwa ada lebih dari 100 jenis shalawat menyerupai yang dipaparkan oleh Bapak Slamet Riyadi, seorang muadzin sekaligus guru mengaji di desa Sarirejo Kaliwungu.

“Dalam kitab Irsyatul Ibad, yaitu kitab shalawat yang dikarang oleh Zaenudin bin Abdul Aziz. Pada jaman Kyai Soleh Ndarat Bergoto Semarang, ya kurang lebih seratus tahun yang kemudian dijelaskan bahwa ada lebih dari seratus jenis shalawat, ada shalawat nariyah, shalawat ma’tsuroh, shalawat ibrohimiyah, dan lain sebagainya.” (Bapak Slamet Riyadi, muadzin di desa Sarirejo, wawancara tanggal 28 Agustus 2015)

Salah satu anutan yang diwariskan oleh Bathara Katong yaitu shalawat macan putih menyerupai yang dituturkan oleh Bapak Sunoto, salah satu juri kunci makam Sunan Katong di Kaliwungu.

“Ajaran yang ditinggalkan Sunan Katong ya shalawat macan putih,.........” (Bapak Sunoto, juru kunci makam Sunan Katong, wawancara pada tanggal 2 Februari 2015)

Dalam kitab shalawat Irsyadul Ibad tidak disebutkan jenis shalawat dengan nama shalawat macan putih. Jenis shalawat tersebut terdengar asing dan asing bagi sebagian masyarakat Kaliwungu. Shalawat macan putih yaitu shalawat yang berlafalkan la ilahaillallah al malikul haqqul mubin muhammad rasulullah shadiqul wa’dil amin. Shalawat macan putih lebih dikenal dengan nama shalawat atau dzikir di Kaliwungu namun lafal shalawat macan putih bukanlah ciptaan dari Bathara Katong.

Fungsi Shalawat Macan Putih di Kaliwungu

Di Kaliwungu, shalawat macan putih dilafalkan sehabis setiap adzan subuh sebelum melakukan sholat subuh. Dalam kitab shalawat Irsyadul Ibad dijelaskan bahwa shalawat yang berlafalkan la ilahaillallah al malikul haqqul mubin muhammad rasulullah shadiqul wa’dil amin dilafalkan 100x ketika shalat Subuh.

Namun lantaran makmum shalat berjamaah di Kaliwungu pada waktu shalat Subuh berjumlah sedikit maka shalawat tersebut dilafalkan kurang dari 100x, ketika makmum dirasa sudah cukup maka shalawat tersebut berhenti dilafalkan kemudian melakukan sholat Subuh berjamaah.

Menurut masyarakat Kaliwungu, shalawat tersebut dilafalkan ketika shalat Subuh, lantaran shalat Subuh merupakan waktu terbaik untuk membangunkan orang dari tidur supaya segera melakukan shalat Subuh. Selain itu, shalawat macan putih dilafalkan untuk menunggu makmum yang lain tiba ke masjid atau mushala.

Namun ada juga sebagian masyarakat Kaliwungu yang melafalkan shalawat macan putih pada ketika tahlil warga setiap malam Jum’at. Selain dilafalkan untuk menunggu makmum tiba dan pada ketika tahlil, shalawat macan putih dianggap bisa untuk menolak bala’ (bahaya) oleh masyarakat Kaliwungu.

“Shalawat la ilahaillallah al malikul haqqul mubin muhammad rasulullah shadiqul wa’dil amin selain untuk menunggu makmum juga bisa untuk menolak bala’.” (Bapak Slamet Riyadi, muadzin di desa Sarirejo, wawancara tanggal 28 Agustus 2015)



Makna Shalawat Macan Putih

Perintah bershalawat kepada nabi Muhammad telah disampaikan Allah SWT dalam Al-Qur’an surah Al Ahzab ayat 56 yang artinya ‘’sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikatnya bershalawat untuk nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kau untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.’’ 

Ini artinya bahwa shalawat merupakan media untuk penyampaian salam hormat kepada nabi Muhammad, salam penghormatan umat Islam untuk nabi Muhammad diwujudkan dalam bentuk shalawat.

Secara harfiah shalawat macan putih yang berlafalkan la ilahaillallah al malikul haqqul mubin muhammad rasulullah shadiqul wa’dil amin bermakna ‘’Tiada Tuhan selain Allah, Yang Maha Merajai, Maha Haq, Maha Terang, Muhammad Rasul Allah, yang memegang teguh kesepakatan dan sanggup dipercaya.‘’

Bathara Katong membawa shalawat macan putih ke Kaliwungu ketika terjadi peperangan, pada masa itu masyarakat Kaliwungu banyak yang tertembak dan meninggal sia-sia. Penamaan macan putih untuk shalawat terkesan jauh dari nuansa Islami namun lekat dengan nuansa Jawa. Masyarakat Kaliwungu yang pada ketika itu beragama Hindu/Budha menjadi dugaan alasan Bathara Katong menentukan nama macan putih sebagai nama shalawat supaya masyarakat Kaliwungu dengan gampang mendapatkan anutan Bathara Katong. Dengan penggunaan nama macan putih, Bathara Katong bisa menciptakan masyarakat Kaliwungu berbondong-bondong ikut mendengarkan wedhar wejang serta ikut mengamalkan anutan Bathara Katong/Sunan Katong/Sunan Ampel sekaligus mendalami tatanan syariat agama Islam yang diserukan.

Penamaan macan putih yang dipilih Bathara Katong tentu bukan tanpa maksud, dia bisa saja menentukan macan ireng, kucing putih, dan lain sebagainya, namun macan putih menjadi pilihan Bathara Katong untuk dijadikan nama shalawat. Perpaduan nuansa Arab dan Jawa dalam nama shalawat macan putih mempunyai maksud dan tujuan tertentu bagi Bathara Katong. Macan putih menjadi suatu simbol untuk mencapai tujuan tertentu.

Macan dalam bahasa indonesia bermakna harimau, badannya yang besar dan gagah menyimbolkan kewibawaan. Putih menyimbolkan sesuatu yang higienis dan baik. Shalawat macan putih berkemungkinan menjadi sebuah tujuan supaya yang melafalkan atau mewiridkan menjadi berkarakter wibawa dan higienis jiwa raga. Melafalkan shalawat merupakan salah satu perilaku yang bersifat komunikatif seorang hamba dalam menghatursembahkan rasa syukur terhadap Sang Pencipta, dan bagi siapa pun yang berusaha untuk mendekatkan diri pada Sang Pencipta niscaya akan lebih berhati-hati dalam menjalani hidup, berbeda dengan orang yang tidak berusaha mendekatkan diri dengan Tuhan, hidupnya akan terasa diselimuti dengan kegelisahan lantaran merasa bahwa dirinya tidak ada yang melindungi, penuh was-was dalam rasa takut.

Peristiwa peperangan menyebabkan masyarakat Kaliwungu berkarakter lemah dan ketakutan, hal ini dibuktikan dengan banyaknya masyarakat Kaliwungu yang pasrah ditembak mati oleh tentara Belanda tanpa perlawanan, shalawat macan putih diharapkan bisa menjadi kekuatan bagi masyarakat Kaliwungu. Dengan melafalkan shalawat macan putih dengan sungguh-sungguh, masyarakat Kaliwungu diharapkan menjadi besar lengan berkuasa dan tidak gampang mengalah dengan keadaan pada waktu itu.

Shalawat yang bertujuan untuk memberikan salam penghormatan kepada Nabi Muhammad mempunyai makna bahwa rasa saling menghormati, rasa berterimakasih, rasa bersyukur seyogyanya ada dalam setiap manusia, tidak hanya dalam bentuk ucapan namun juga sikap. Nabi Muhammad sepatutnya menjadi teladan bagi insan dalam berpikir, berucap dan bersikap, terbukti dengan mentranformasikan shalawat sebagai sugesti pembangun mental dalam revolusi moral dan keyakinan.


Wejangan Bathara Katong

Menurut Bapak Sonny, Bathara Katong tidak hanya mewariskan tradisi ekspresi menyerupai shalawat macan putih namun juga memperlihatkan beberapa wejangan. Wejangan ini disampaikan Bathara Katong kepada para muridnya yaitu Rama Suragati, Walijaka, Lodang, dan Pilang, ketika mereka menyerahkan keris Naga Sasra Dapur Sabuk Inten buatan Pakuwaja kepada Bathara Katong, namun ternyata Bathara Katong mengetahui bahwa keris yang diserahkan padanya yaitu palsu, kemudian Bathara Katong mengajak para muridnya ke Tapak Kuntul Nglayang sambil diiringi tembang dandanggula.

Urip iku ing donya tan lami
Upamane jebeng menyang pasar
Tan langgeng ing pasar bae
Ra wurung nuli mantuk
Mring wismane sangkaning uni
Ing mengko aja samar
Sangkan paranipun
Yen sira padha weruha
Yen yektine sira kabeh bakal bali
Aja nganti kesasar

Kemudian Bathara Katong memperlihatkan wejangan kepada para muridnya:

a) tata tapaning ngaurip iku kapilah dadi rong perkara, siji jiwa loro raga. Dening jiwa kaperang dadi limang werna: angumbar hawa napsu, ambabar suka renaning karsa, anggelar ambek angkara murka, amedhar tabiat dora para cidra, anuruti budi pitnah panganiyaya. Dening raga kaperang dadi limang werna: ulah carobo, laris nista, tingkah deksura, sarwa kesed, lumuh nastapa puja brata.

b) Sapa bae kang seneng tumindak becik, ora nduwe pangira ala marang liyan, eneng lan ening, mesti bakal lulus raharja uripe.

c) Pikolehe tapa iku amung laris kang ora kawistara, yaiku tansah prayitna ing uripe kayata obahing raga kudu angarah-arah, kedaling lesan kudu angirihirih, empane mawa papan, patrape kanti duga prayoga, tumanduk panimbang sawatara, tegese angon wahyaning mangsakala kang pantes ing sambawa kalayan sembada.

d) Wejangan untuk Pakuwaja: dadi guru iku kudu asih ing murid, lumuh ing pamrih, ora amburu aleman utawa angunggul-unggulake kapinterane, alus ing wicara, jatmika ing solah, antep bebudene, patitis nalare, nduwe tabiat heneng damai awas lan eling. Tegese heneng bisa ngendek getering karep, aja noleh dening panggodaning pepinginan. Tegese damai weninge cipta aja nganti karedenan dening jlantahing kanistan. Tegese awas panduluning rasa kudu bisa amaspadakake kang dadi pamurunge laku. Tegese eling gentenging pangesti tumuju marang Gusti kang Murbeing Dumadi.


Fungsi Wejangan Bathara Katong

Menurut Bapak Sonny, wejangan Bathara Katong kepada para muridnya maupun kepada Pakuwaja mempunyai fungsi pendidikan moral, lantaran wejangannya mengandung ilmu tatananing ngaurip. “wejangan yang diberikan Bathara Katong kepada para muridnya maupun kepada Pakuwaja melalui murid-muridnya itu berfungsi sebagai pendidikan moral alasannya disitu diajarkan wacana ilmu tatananing ngaurip.” (Bapak Sonny, budayawan di Kendal, wawancara tanggal 5 Januari 2016)

Makna Wejangan Bathara Katong

Kalau dicermati rangkaian wejangan di atas, Sunan Katong/Bathara Katong/Sunan Ampel memperlihatkan kesan dan pesan yang cukup dalam bahwa dalam hidup dan kehidupan ini membutuhan sebuah keseimbangan vertikal horizontal, artinya dalam hidup ini selain begitu pentingnya bertata moral antar sesama juga diharapkan bertata ibadah/berabdi terhadap sang pencipta, kata singkatnya selamat di dunia juga tidak terhalang atau kesasar dalam berproses kembali menuju kehadirat-Nya.


Sumber: Skripsi “Keberadaan Ajaran Bathara Katong di Kaliwungu Kendal” karya Fella Sufa N.U.

Comments