Perjalanan Syaikh Ahmad Bin Muhammad Debu Al-Husain An-Nuri



Dalam dunia Tasawuf, perjalanan seorang sufi yang berziarah ke aneka macam daerah suci, bisa menampilkan aneka macam perbuatan menjadi nasihat keruhanian dengan nilai-nilai spiritual yang luar biasa. Mereka meninggalkan jejak-jejak spiritual – adakalanya berupa karya tulis yang monumental – yang hingga kini tetap menjadi tumpuan para penempuh jalan sufi.

Beberapa di antara mereka, contohnya Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, Sarry As-Saqaty, Imam Abul Qasim Junayd al-Baghdadi, Syaikh Fariduddin Aththar, Abu Husain an-Nuri, dan sebagainya. Mereka ialah tokoh sufi garda depan yang hingga kini belum tertandingi ketokohannya. Seorang diantara mereka, yaitu Abu Husain an-Nuri, punya keistimewaan justru alasannya ialah mendapat julukan “an-Nuri”, yaitu “Yang Mendapat Anugrah Cahaya” dari Allah SWT.

Nama lengkapnya ialah Ahmad bin Muhammad Abu al-Husain An-Nuri. Ia lahir di Baghdad, Irak, tidak terperinci tahun berapa. Sementara nenek moyangnya berasal dari Khurasan, Iran. Yang niscaya ia ialah salah seorang murid kesayangan Syaikh Sarry As-Saqaty dan sahabat Sufi besar Imam Junaid Al-Baghdadi. Mereka hidup di Irak pada era ke III. Selama hidup ia tinggal di tepian sungai Tigris yang indah.


Ia mendapat julukan “An-Nuri”, alasannya ialah kapanpun ia bicara di kegelapan malam, seberkas cahaya akan keluar dari mulutnya, hingga menciptakan terang sekelilingnya. Di riwayatkan juga bahwa ia mendapat julukan itu alasannya ialah mengungkapkan rahasia-rahasia terdalam dengan cahaya intuisi, alasannya ialah perilaku dan gaya bicaranya yang bernas dan lembut, sementara pemikirannya sangat luas, dan konsekwen dengan sikapnya yang teguh.

Versi yang lain menyampaikan bahwa ia dijuluki Nuri alasannya ialah ia mempunyai sebuah daerah pengasingan di tengah padang pasir dimana ia biasa beribadah sepanjang malam. Orang-orang kerap keluar rumah untuk memperhatikannya, dan mereka melihat seberkas cahaya memancar keluar dari lubang pengasingannya sepanjang malam.

Abu al-Husain an-Nuri ialah salah seorang figur terkemuka kelompok sufi Baghdad. Ia menyusun sejumlah puisi mistis yang mengagumkan. Ia meninggal dunia pada tahun 295 H / 908 M.

Ia mengawali kehidupan mistiknya dengan sangat unik. Setiap dini hari, sebelum subuh, ia mengambil roti dari tokonya untuk ia sedekahkan. Setelah shalat subuh di masjid, ia kembali ke toko, orang-orang menerka ia telah sarapan di toko, sementara orang-orang di toko menyangka ia sudah makan pagi di rumah. Hal itu berlangsung selama 20 tahun tanpa seorang pun tahu. Kisah kewalian Abu Husain ini banyak diungkapkan dalam aneka macam kitab, ibarat Tadzkirul Awliya (Fariduddin Aththar), Ar-Risalah dan Kasyful Mahjub (Imam Qusyairi).

Tentang kehidupan mistiknya, Abu al-Husain menyatakan:
“Bertahun-tahun saya berjuang, mengekang diri dan meninggalkan pergaulan. Betapapun saya berusaha keras, jalan belum terbuka bagiku. Aku harus melaksanakan sesuatu untuk memperbaiki diri. Kemudian kataku, “Wahai jasmaniku, bertahun-tahun sudah engkau menuruti hawa nafsu, sungguh semua itu akan mencelakakanmu. Sekarang masuklah ke dalam penjara. Akan ku belenggu dirimu dan akan kukalungkan pada lehermu semua kewajiban kepada Allah. Jika sanggup bertahan, engkau niscaya meraih kebahagiaan. Tapi, kalau tak sanggup, setidaknya engkau akan mati di jalan Allah, begitulah kataku.”

Mengenai perjalanan spiritualnya, ia berkata:
“Pernah kudengar, hati para mistikus merupakan alat yang awas waspada, mengetahui segala rahasia, baik yang terlihat maupun yang terdengar. Karena tidak mempunyai hati ibarat itu, saya pun berkata kepada diriku sendiri, “Ucapan para Nabi dan insan suci ialah benar. Mungkin sekali selama ini saya telah bersikap munafik, sementara kegagalanku alasannya ialah kesalahanku sendiri. Aku ingin merenungi diriku sendiri sehingga benar-benar mengenal-Nya”, begitulah kataku.

Setelah merenungi diri sendiri, Abu al-Husain menemukan hati dan nafsu itu bersatu. Lalu katanya:
“Bila hati dan nafsu bersatu, celakalah! Sebab, kalau ada sesuatu yang menyinari hati, hawa nafsu akan menyerap sebagian. Maka sadarlah aku, inilah sumber dilema yang kuhadapi selama ini. Segala sesuatu yang tiba dari hadirat Allah SWT dalam hatiku, sebagian diserap pula oleh hawa nafsuku.”

Sejak perenungan itulah, ia menghentikan segala perbuatan yang diperkenankan hawa nafsu. Ia berusaha hanya melaksanakan segala sesuatu yang “tidak diperkenankan” hawa nafsu. Lalu katanya, “Misalnya, hawa nafsuku berkenan saya berpuasa, bersedekah, shalat, menyepi atau bergaul dengan sahabat-sahabatku, maka saya akan melaksanakan hal sebaliknya. Akhirnya segala hal yang diperkenankan hawa nafsuku sanggup kubuang dan rahasia-rahasia gaib mulai terbuka dalam diriku.”

Suatu hari, ia berdialog dengan diri sendiri. “Siapakah engkau?” tanyanya kepada diri sendiri. “Aku ialah mutiara tanpa hasrat, dan mutiaraku ialah mutiara tanpa maksud,” terdengar bunyi dalam dirinya. Kemudian ia menuju sungai Tigris dan melemparkan jala. “Aku tidak akan beranjak sebelum seekor ikan terjerat dalam jalaku,” ia bergumam. Tak usang kemudian, seekor ikan berkecupak di dalam jala. Saat saya mengambil ikan itu, saya memekik, “Segala puji bagi Allah, urusan-urusanku telah berjalan dengan baik!”

Aku pergi menemui Syaikh Junayd dan berkata padanya, “Sebuah karunia telah dianugrahkan padaku!”

“Abul Husain,” ujar Syaikh Junayd, “Jika seekor ular yang terjerat jalamu, dan bukannya seekor ikan, itu gres suatu tanda karunia. Namun alasannya ialah dirimu sendiri terlibat (dalam mendapatkannya), itu ialah muslihat, bukan karunia. Karena tanda dari karunia ialah engkau tidak terlibat sama sekali.”

Ketika Ghulam al-Khalil menyatakan permusuhannya terhadap para sufi, ia menemui Khalifah dan menjelek-jelekkan mereka. “Sekelompok sufi telah muncul,” katanya. “Mereka menyanyi, menari dan menyatakan penghinaan-penghinaan terhadap Tuhan dan agama. Mereka berkumpul hampir setiap hari, bersembunyi dalam gua-gua, dan berkhotbah. Orang-orang itu ialah jago bid’ah. Jika Amirul Mukminin berkenan mengeluarkan perintah untuk menghabisi mereka, maka aliran bid’ah akan musnah, alasannya ialah mereka ialah kepala para jago bid’ah. Jika Amirul Mukminin melaksanakan hal ini, saya jamin anda akan mendapatkan pahala yang besar.”

Sang Khalifah segera memerintahkan semoga mereka – Abu Hamzah, Raqqam, Syibli, Nuri, dan Junayd – dibawa ke hadapannya. Perintah Khalifah pun dilaksanakan. Kemudian Khalifah memerintahkan semoga mereka dieksekusi mati. Awalnya, algojo diperintahkan untuk mengekskusi Raqqam terlebih dahulu, namun Nuri tanpa rasa takut sedikitpun bangun mendekat dan mengambil daerah Raqqam.

“Bunuhlah saya lebih dulu, tertawa gembira,” pekiknya.

“Tuan, giliran anda belum tiba,” kata si Algojo padanya. “Pedang bukanlah sesuatu yang dipakai dengan tergesa-gesa.”

Nuri menjelaskan. “Jalanku didasari oleh pikiran. Aku lebih menentukan sahabatku daripada diriku sendiri. Hal yang paling berharga di dunia ini ialah kehidupan. Aku ingin mempersembahkan sedikit waktuku yang tersisa ini untuk para saudaraku. Aku akan mengorbankan kehidupanku sendiri. Hal ini kulakukan walaupun dalam pandanganku suatu ketika di dunia ini lebih berharga daripada seribu tahun di darul abadi kelak. Karena dunia ini ialah kediaman penghambaan, sementara darul abadi ialah kediaman kedekatan, dan kedekatan bagiku ialah penghambaan.”

Kata-kata Nuri ini dilaporkan kepada Khalifah. Sang Khalifah mengagumi ketulusan dan kefasihan Nuri. Ia memerintahkan untuk menunda sanksi dan mengajukan kasus mereka kepada Hakim untuk diperiksa.

“Mereka tidak sanggup dieksekusi tanpa bukti,” kata sang Hakim.

Sang Hakim kemudian menguji Nuri dengan masalah-masalah fiqih. Nuri pribadi sanggup menjawabnya, dan sang hakim pun diam dalam kebingungan.

Nuri berkata:
“Wahai hakim, anda telah mengajukan semua pertanyaan ini, namun semua pertanyaan anda sama sekali tidak relevan. Karena Allah mempunyai hamba-hamba yang berdiri melalui-Nya, bergerak dan diam melalui-Nya, yang hidup melalui-Nya, dan tinggal dalam dzikir kepada-Nya. Jika satu ketika saja mereka tidak mengingat-Nya, maka jiwa-jiwa mereka akan keluar dari badan mereka. Melalui-Nya mereka tidur, melalui-Nya mereka makan, melalui-Nya mereka menerima, melalui-Nya mereka pergi, melalui-Nya mereka melihat, melalui-Nya mereka mendengar, dan melalui-Nya mereka berada. Inilah ilmu yang hakiki, bukan semua yang anda tanyakan tadi.”

Sang hakim kebingungan, kemudian ia mengirim pesan kepada Khalifah, “Jika mereka ini atheis dan jago bid’ah, maka saya akan tetapkan maka di seluruh permukaan bumi, tidak seorang pun yang bertauhid.”

Khalifah pun memanggil mereka.
“Adakah yang kalian inginkan?” tanya Khalifah.

“Ya,” jawab mereka. “Kami harap anda melupakan kami. Kami tidak ingin anda menghormati kami dengan persetujuan anda (terhadap keyakinan kami) ataupun menghukum kami dengan penolakan anda. Bagi kami, penolakan anda sama saja dengan persetujuan anda, dan persetujuan anda sama saja dengan penolakan anda.”

Sang Khalifah pun menangis pilu mendengarnya, dan membebaskan mereka dengan segala penghormatan.

Suatu hari Syaikh Junayd mengunjungi Abu al-Husain an-Nuri. An-Nuri tersungkur ke tanah dihadapan Syaikh Junayd, mengeluhkan ketidakadilan.

“Pertempuranku bertambah dahsyat, dan saya tak mempunyai kekuatan lagi untuk bertarung,” katanya. “Selama tiga puluh tahun, kapan pun Dia ada, saya lenyap, dan kapan pun saya mewujud, Dia lenyap. Kehadiran-Nya ialah ketidakhadiranku. Betapapun saya memohon, jawaban-Nya adalah: Aku atau engkau yang ada.”

Syaikh Junayd berkata kepada para muridnya. “Lihatlah dia, seorang lelaki yang telah berusaha keras dan dibingungkan oleh Allah.”

Sambil berpaling ke Abu al-Husain An-Nuri, Syaikh Junayd menambahkan, “Seharusnya apakah Dia terhijabi olehmu ataupun tersingkap melaluimu, engkau dilarang lagi menjadi dirimu, dan semuanya harus menjadi Dia.”

Seseorang menemui Syaikh Junayd dan berkata, “Sudah beberapa hari ini, siang dan malam, an-Nuri berkeliling dengan sebongkah kerikil di tangannya sambil berteriak, “Allah… Allah…” beliau tidak makan apa-apa, dan tidak tidur. Namun beliau masih mendirikan shalat pada waktunya dan menjalankan seluruh ritual shalat.”

Para murid Syaikh Junayd menanggapi, “Ia sadar. Ia tidak berada dalam keadaan Fana'. Buktinya, ia masih ingat waktu-waktu shalat dan melaksanakan ritual-ritual shalat. Itu ialah tanda dari perjuangan sadar, bukan tanda dari fana', seseorang yang telah fana', tidak menyadari apapun.”

“Bukan begitu,” jawab Syaikh Junayd. “Apa yang kalian katakan tidaklah benar. Orang-orang yang berada dalam ekstasi selalu terpelihara, Allah menjaga mereka, kalau tidak, mereka akan meninggalkan ibadah pada waktunya.”

Kemudian Syaikh Junayd pergi menemui Abu al-Husain An-Nuri.
“Abu al-Husain,” sapa Syaikh Junayd pada an-Nuri. “Jika engkau tahu bahwa berteriak ialah salah satu laba dengan-Nya, maka beri tahukanlah aku, dan saya pun akan ikut berteriak. Jika engkau tahu bahwa kepuasan dengan-Nya ialah lebih baik, maka bertawakkallah, semoga hatimu bisa tenang.”

Sejak ketika itu, an-Nuri berhenti berteriak. “Engkau benar-benar guru yang hebat bagi kami!” katanya pada Syaikh Junayd.

Dalam kitab Al-Risalah, Imam Al-Qusyairi mengungkapkan beberapa pendapat Abu al-Husain an-Nuri. Salah satu pendapatnya ihwal tasawuf, antara lain, “Tasawuf itu meningglkan semua cita-cita hawa nafsu. Ada dua hal yang paling mulia, yaitu orang alim yang mengamalkan ilmunya, dan orang bakir yang bisa memahami hakekat. Jika ada orang yang mengaku bersama Allah SWT, tapi berani keluar dari batas ilmu agama, sekali-kali jangan engkau mendekatinya.”

Suatu hari Abu al-Husain an-Nuri, berdoa di sebuah daerah yang sangat terpencil. “Ya Allah engkau menghukum para penghuni neraka, mereka semua ialah ciptaan-Mu, melalui ke-Maha Tahuan-Mu, ke-Maha Kuasaan-Mu, dan kehendak-Mu. Jika engkau menghendaki insan ke dalam neraka, engkaulah yang berkuasa untuk melemparkan mereka ke dalam neraka, dan mengantarkan ke dalam surga.”

Kebetulah seorang sufi, Ja’far Al-Khuldi, mendengar doa itu, dan ia pun sangat takjub. Kemudian suatu malam, ia bermimpi bertemu dengan seseorang yang berkata kepadanya, “Allah memerintahkan semoga engkau menyampaikan kepada Abu al-Husain, bahu-membahu Allah telah memuliakanmu dan menganugerahkan pahala kepadamu alasannya ialah doamu.”

Suatu hari, ketika Abu al-Husain an-Nuri mandi di sebuah telaga, pakaiannya dicuri orang. Belum sempat ia mentas dari telaga untuk mengejarnya, pencuri itu telah mengembalikan pakaiannya, alasannya ialah tiba-tiba tangannya terkena penyakit sampar. Lalu Abu al-Husain berseru, “Ya Allah, alasannya ialah ia telah mengembalikan pakaianku, sembuhkanlah tangannya,” maka ketika itu juga tangan pencuri itu sembuh.

Abu al-Husain an-Nuri wafat pada 295 H /908 M. Banyak kenangan dan kebanggaan yang diungkapkan oleh para sahabatnya ataupun para ulama se zamannya. Salah satunya dari Imam Junayd al-Baghdadi, katanya, “Sejak Abu al-Husain an-Nuri wafat, tidak ada seorang pun yang bisa menceritakan hakikat kebenaran.” Sedangkan Ahmad Al-Maghazili menyatakan, “Belum pernah saya melihat ibadah yang dilakukan lebih khusyuk daripada ibadah Abu al-Husain an-Nuri.”




Sumber : https://romanacinta.blogspot.com/search?q=ahmad-bin-muhammad-abu-al-husain-nuri

Sumber http://tarekataulia.blogspot.com/

Comments